Manfaat Pendidikan dalam Mitos Alegori Goa Platon:
(Memperingati Hari Pendidikan
Nasional 2 Mei 2019)
Oleh
Nando Sengkang
(Mahasiswa
STF Driyarkara-Jakarta)
Tanpa wacana
panjang-lebar, kita semua tentu sepakat bahwa pendidikan sangat berguna dalam revitalisasi
kehidupan kita, dengan salah satu manfaatnya: mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan, bagi penulis, ibarat obat mustajab yang dapat menyembuhkan penyakit
yang sanagat berbahaya bagi masyarakat modern, yakni “penyakit akal sehat”:
kekeliruan, kesalahan (tanpa kritis), ketidaktahuan. Argumentasi tersebut
berangkat dari kebiasaan meneropong realitas: melihat masalah-masalah sekitar,
melihat lebih jauh. Salah satu temuannya ialah, menurut istilah penulis, adanya
“penyakit akal sehat” yang menjadi penyakit yang paling berbahaya era modern.
Penyakit tersebut merupakan macetnya cara berpikir yang sehat: benar dan sejati.
Dengan macetnya cara berpikir yang sehat, hal itu akan menciptakan kekeliruan,
kesalahan (tanpa kritis), ketidaktahuan yang menyebabkan kekacauan bangsa ini. Oleh
karena itu, peran Pendidikan, seperti obat mustajab, sangat esensial dalam
menyembuhkan penyakit tersebut.
Tulisan ini akan memberikan
pemahaman bagi kita, yang mungkin masih minim, mengenai manfaat Pendidikan
dalam mitos Alegori Goa. Mitos tersebut dipopulerkan oleh
Platon, seorang filsuf klasik Yunani, yang tahun 428/427 SM dan meninggal di
kota yang sama pada tahu 348/347 (J. H. Rapar, 1991: 41). Dengan demikian, melalui
tulisan ini, kiranya pembaca budiman mendapat sedikit pencerahan atau refleksi
kembali mengenai manfaat Pendidikan yang membentuk kita menjadi manusia yang
manusiawi. Semoga!
Alegori Goa Platon
Alegori Goa dimulai dengan
penggambaran situasi manusia menjadi tahanan di dalam goa. Pengalaman tertawan
dan berada dalam goa adalah perumpamaan untuk kondisi manusia yang tidak
terdidik. Platon bertutur tentang para tawanan yang tinggal di dalam sebuah
goa, mereka terantai sedemikian rupa sehingga pandangan mata para tawanan hanya
bisa terarah ke dinding goa. Di dasar goa, di belakang para tawanan yang
terantai, ada semacam tembok kecil meninggi yang memisahkan para tawanan dari
lalu-lalang budak-budak yang membawa benda-benda di balik tembok tersebut. Dan
lebih tinggi lagi ada kobaran api yang menerangi kegelapan goa. Sepanjang
hidupnya, para tawanan hanya melihat bayang-bayang yang terpantul di dinding
goa.
Oleh
karenanya, sangat wajar bahwa mereka menganggap bayang-bayang tersebut sebagai
realitas yang sebenarnya. Satu-satunya kenyataan adalah bayang-bayang, dan
itulah yang mereka anggap realitas yang sebenarnya. Suara para budak yang lalu lalang
dianggap para tawanan sebagai suara dari bayang-bayang yang mereka saksikan (A.
Setyo Wibowo, 2017: 113-114).
Dari deskripsi yang diberikan, kita
akan tahu bahwa goa itu memiliki pintu keluar, sehingga ketika seorang tawanan
terbebaskan dia akan bisa keluar. Pintu itu cukup besar, namun jalan menuju
pintu tersebut menanjak dan curam. Pintu terletak jauh di atas dan terbuka
sepenuhnya ke cahaya dari luar. Sebagaimana Platon tidak menerangkan mengapa
mereka menjadi tawanan, dia juga tidak menerangkan mengapa ada satu tawanan
yang akhirnya terbebakan dari rantainya. Tawanan tersebut dikatakan bahwa ia
terbebaskan secara sumbainoi
(aksidental, terjadi begitu saja). Bila pembebasa tawanan terjadi begitu saja,
maka pada kisah selanjutnya, upaya sang tawanan untuk naik keluar goa bukan
kebetulan, juga sengaja (kemauan sendiri), melainkan sebuah “paksaan” (A. Setyo
Wibowo, 2017: 113-114).
Ada dua momen menarik untuk
dicermati: pertama, proses paidea (Pendidikan)
awalnya adalah sebuah kebetulan belaka, namun kebetulan yang disertai
pengorbanan dari si tawanan. Saat seorang tawanan terbebaskan mulai menengok,
melihat cahaya api dan benda-benda sumber pantulan, dia merasakan sakit di mata
(baca: silau). Kedua, begitu momen awal terlampaui, ketika proses paidea berlanjut, ia akan naik lagi
(karena dipaksa) meniti jalan curam menuju pintu keluar. Di sini, dimensi
pengorbanan menjadi lebih nyata karena karena Platon mengambarkan sebagai
“paksaan”. Sama halnya dengan, orang-orang yang dipaksa untuk bersekolah. Jika
mengikuti keinginan sendiri, maka kemungkinan untuk tidak terjun dalam dunia
Pendidikan sangat mungkin terjadi. Akhirnya, proses naik sang tawanan keluar
goa berakhir pada penglihatan matahari, sebagai sumber segala sesuatu yang ada
di luar goa dan simbol kebaikan, pengetahuan benar dan sejati (bdk. A. Setyo
Wibowo, 2017: 115-116).
Dari Kegelapan Menuju ke Arah yang Terang
Alegori
Goa Platon mengandung banyak tafsiran, tergantung dari sudut mana kita
melihatnya. Menurut Platon, para tawanan yang duduk manis dalam kegelapan,
sambil menikmati bayang-bayang sebagai wujud realitas, adalah kondisi manusia
yang tidak terdidik. Mereka selamanya menganggap bayang-bayang itulah kenyataan
sebenar-benarnya. Tanpa mengetahui lebih jauh bahwa realitas yang otentik ada
di luar goa. Penulis menafsirkan kondisi ini sangat gamblang menunjukan orang-orang
yang tidak mencicipi dunia Pendidikan, sehingga memiliki pengetahuan yang
miskin (baca:sedikit), serta terlalu cepat menyimpulkan sesuatu sebagai yang
benar, tanpa melihat lebih jauh wujud asli kebenaran itu. Sesuatu yang mereka
lihat itulah realitas, tanpa menggali kebenaran yang lebih dalam.
Selanjutnya,
ketika seorang tawanan keluar menuju pintu, ia tentu melewati jalan curam dan
terjal. Hal ini menunjukan bahwa proses paidea
(Pendidikan) tidak seperti jalan tol, tetapi penuh lika -liku atau
tantangan yang bercabang. Usaha sang tawanan keluar dari kegelapan patut
diacung jempol, penulis menafsirkan bahwa kita semua, khususnya mereka yang
belum mencicipi dunia Pendidikan, harus berani keluar menuju arah yang terang:
keluar dari zona nyaman, keluar dari pemahaman primitif, keluar dari sikap
fanatik, keluar dari daerah kemalasan, keluar dari kebiasaan buruk, dst menuju
cahaya terang: benar dan sejati. Jika, usaha menuju ke luar itu tersendat, yang
disebabkan oleh ketidakmauan pribadi untuk sekolah dan merubah diri, Platon
menganjurkan paksaan sebagai jalan keluar. Dengan paksaan dari orang tua,
lingkungan, atau siapa saja terhadap mereka yang tidak ingin mencicipi dunia
pendikan, alhasil mereka akan menyadari dan merubah cara pandang primitif itu.
Akhirnya,
ketika seorang tawanan tiba di luar goa, dia akan menemukan begitu banyak
realitas yang lebih dari pada hanya bayang-bayang di dasar goa. Dia juga akan
melihat matahari, simbol kebaikan, pengetahuan benar dan sejati. Semua
penglihatan itu merubah pemahaman sang tawanan sebelumnya yang sangat miskin
dan menambah wawasannya. Dengan mencicipi Pendidikan, sekurang-kurangnya pernah
bersekolah, kita akan seperti sang tawanan, yaitu melihat matahari sebagai
gambaran kebaikan dan pengetahuan yang benar dan sejati. Oleh karena itu,
pembaca yang budiman silahkan memilih: duduk manis seperti tawanan di dasar goa
atau mengikuti sang tawanan yang berani keluar menuju goa? Selamat memilih! Jika
bingung, baca kembali Alegori Goa Platon. Baca!
0 Comments:
Post a Comment