Makna Ekaristi dalam
“Kaca Mata” Kaum Muda
Oleh
Nando Sengkang
(Mahasiswa STF Driyarkara-Jakarta)
A.
Pengantar
Sabtu sore, ketika romo Ritan akan
berangkat ke salah satu stasi paroki untuk melayani umatnya, dia dicegat oleh
seorang anak muda dengan nafas ngos-ngosan,
nampaknya buru-buru, datang meminta bantuannya. Anak muda itu akan memimpin
ibadah di stasinya, namun ia tidak tahu urutan ibadah dan juga masih bingung
dalam menafsirkan bacaan Kitab Suci sebagai santapan saat berkhotbah. Oleh
karena itu, dia datang meminta romo parokinya untuk meluruskan kebingungan itu.
Romo Ritan kagum dengan sikap anak muda itu, menurutnya juga, baru pertama
seorang anak muda datang kepadanya dengan maksud melayani Tuhan di
lingkungannya. Akhirnya, romo Ritan langsung melayani anak muda itu dengan
nuansa kegembiraan, juga decak kagum.
Cerita singkat di atas juga membuat saya
kagum dengan sikap anak muda itu, seraya memantik pertanyaan dalam diri saya, selain
tentang ibadah, dapatkah kaum muda berbicara tentang sesuatu yang sakral dalam
hidup gerejawi, khusunya Ekaristi? Setahu saya, Ekaristi itu hanya dibicarakan
oleh kaum-kaum berjubah, kaum awam seperti haram hukumnya untuk membicarakan
hal itu. Akan tetapi, saya memberanikan diri untuk menggali pemahaman umat
beriman, khusunya kaum muda tentang Ekaristi. Proses penggalian itu, dengan
metode pustaka dan wawancara, saya tuangkan dalam paper ini. Paper ini akan
mengupas secara sederhana makna Ekaristi dalam “kacama mata” atau pemahaman
kaum muda. Selain itu, akan dilanjutkan dengan unek-unek “bebas” kaum muda tentang persiapan Ekaristi Hari Minggu;
dan paper ini akan ditutup dengan hasil refleksi saya terhadap situasi perayaan
Ekaristi zaman now. Dengan demikian,
paper ini, saya analogikan seperti mikrofon bagi kaum muda untuk bebas
berbicara tentang Ekaristi, selain itu paper ini seperti taman-taman kota atau
kafe tempat kaum muda bebas berekspresi. Selamat menikmati!
B.
Selayang Pandang Makna Ekaristi
Sebelum kita melangkah lebih jauh untuk
melihat makna Ekaristi dalam kaca mata kaum muda, terlebih dahulu kita melihat
makna Ekaristi dalam tinjauan pustaka. Bercermin pada perspektif Jacobus
Tarigan, Ekaristi berasal dari kata Yunani “eukharizen”
yang berarti mengagumi, bersyukur, berterima kasih. Nama-nama lain untuk
Ekaristi ialah Perjamuan Tuhan, Perjamuan Malam, Kurban Kudus, Sakramen
Mahakudus, Misa, Pemecahan Roti, Kenangan, Komuni, Liturgi yang Kudus dan
Ilahi.[1]
Hari Kustono menambahkan Ekaristi sebagai pusat dan puncak kehidupan Gereja
mempunyai latar belakang yang kuat dalam PL, khusunya tradisi Yahudi (bangsa
Israel) sekitar Paskah. Kenangan akan pembebasan bangsa Israel dari perbudakan
Mesir dirayakan setiap tahun pada hari raya Paskah yang jatuh pada musim semi
tanggal 14 bulan Nisan (sekitar Maret-April).[2]
Pada zaman Yesus, hari raya Paskah (Ibr: pesah)
digabungkan dengan hari raya Roti Tak Beragi (Ibr: Massoth). Selain itu, perjamuan malam terakhir (Kamis Putih)
merupakan latar belakang dari perayaan Ekaristi hingga dewasa ini. Sacrosanctum Concilium (SC) no. 74
melengkapi bahwa pada perjamuan terakhir, Penyelamat kita mengadakan Korban
Ekaristi Tubuh dan Darah-Nya. Dengan demikian, Ia mempercayakan kepada Gereja
mempelai-Nya yang terkasih untuk mengenangkan peristiwa wafat dan kebangkitan-Nya.[3]
Selain itu, dalam Kitab Hukum Kanonik Kan.
900 menegaskan pelayan, yang selaku pribadi Kristus dapat melaksanakan sakramen
Ekaristi, hanyalah imam yang ditahbiskan secara sah. Kan. 898 juga menghimbau
agar umat beriman berepartisipasi aktif dalam ritus Ekaristi. Oleh karena itu,
Kan. 899, perayaan Ekaristi hendaknya diatur sedemikian rupa agar semua yang
ikutserta memetik hasil yang berlimpah.[4] SC
no. 48 juga menghimbau agar umat beriman harus berpartisipasi aktif dalam
Ekaristi, sehingga nampak hidup dan meriah.[5]
Jacobus Tarigan mengamini: perayaan Ekaristi Hari Minggu sebaiknya diikuti oleh
semua umat, baik orang dewasa maupun anak-anak. [6]
Anak-anak jangan diabaikan, mereka ibarat burung kecil yang ingin terbang dan
bernyanyi di alam bebas.
C.
Kaum Muda Berbicara Tentang Ekaristi
Ribuan anak muda sering kita jumpai, baik
di mal-mal, taman kota dan kafe-kafe. Tak ketinggalan juga, Gereja dihiasi oleh
pelbagai anak muda yang terlibat dalam OMK, BIA, BIR, atau kegiatan lainnya.
Walaupun jumlahnya jauh tertinggal dan bisa dihidung jari, namun anak-anak muda
di Gereja-Gereja tetap meramaikan suasana Gerejanya masing-masing, seperti
tablo Jumat Agung di setiap paroki KAJ disimulasikan oleh anak-anak muda.
Melalui tablo, mereka dapat “berbicara” di lingkungan Gereja. Selain tablo,
kita jarang menemukan anak-anak muda berbicara tentang Ekaristi. Ekaristi
sering dibicarakan oleh kaum-kaum berjubah, katanya merekalah yang lebih
pantas. Namun, paper yang sedang Anda baca ini merupakan mikrofon bagi anak muda
untuk mengeluarkan unek-unek mereka
tentang makna Ekaristi. Melalui metode wawancara, saya menuangkan unek-unek itu.
Erna Sengkang memaknai Ekaristi sebagai
rahmat pemurnian atas dirinya yang masih diselimuti lumpur dosa. Dengan
mengikuti Ekaristi, dia mencuci lumpur itu, sehingga ia bisa bersih dan
terlahir kembali menjadi pribadi yang baru. Senada dengan Lia, Ekaristi sebagai
penguatan dan peneguhan dalam dirinya. Kekuatan itu menjadikannya sebagai
wanita yang tetap kuat dan kokoh dalam badai cobaan. Selain itu, keempat
responden lainnya, Jeanette, Dinda, Theresya, dan Tasya Hermanpelankahu,
sama-sama memaknai Ekaristi sebagai kenangan akan misteri wafat dan kebangkitan
Yesus Kristus. Melania menambahkan Ekaristi sebagai upacara kasih Allah kepada
umat-Nya; Dinda menambahkan Ekaristi itu menyatukan ikatan cinta dalam satu
Tubuh, yaitu Kristus. Kedua responden terakhir, T. Halima dan Nadine,
melengkapi dengan jawaban sederhana, Ekaristi sebagai waktu khusus untuk Tuhan
dan kesempatan untuk bertemu dengan-Nya melalui imitation Christi (imam).
KHK
kan. 897, ibarat merangkum jawaban para responden, yakni kurban Ekaristi,
kenangan wafat serta kebangkitan Tuhan Yesus adalah puncak seluruh ibadat dan
kehidupan Kristiani, serta sumber yang menandakan dan menghasilkan kesatuan
umat Allah dalam Tubuh Kristus.[7]A.
Lukasik menambahkan berkat kehadiran Kristus dalam Ekaristi, berkat tubuh-Nya
yang disantap, kita sendiri menjadi Tubuh Kristus, mengikat diri dengan-Nya
dalam hubungan cintakasih serta persahabatan. Inilah fundamen kekristenan yang
membentuk hidup Kristiani yang tulen. Dengan demikian, dengan menghayati
Ekaristi semestinya, bisa menjadi bagi kita sekolah hidup Kristiani, sekolah
kesucian.[8]
D.
Unek-Unek Kaum Muda Tentang
Ekaristi Hari Minggu
Bagian ini sedikit bebas menyuarakan suara
atau unek-unek kaum muda tentang
Ekaristi Hari Minggu. Bagian ini ibarat kafe dan taman kota yang menjadi tempat
mereka bebas mengeluarkan apa yang ada dalam pikirannya. Kembali dengan metode
wawancara, saya menggali kegiatan mereka dari persiapan sebelum mengikuti
Ekaristi hingga langkah konkret serta manfaat yang dirasakan dari perayaan
Ekaristi.
Persiapan sebelum mengikuti Ekaristi Hari
Minggu, semua responden senada menyiapkan diri dengan sebaiknya, seperti berpakain
rapih dan bersih agar memuji Tuhan dengan layak. Erna Sengkang menambahkan, dia
menjaga emosinya tetap dingin, walaupun ada sedikit kejadian yang memanaskan
hatinya, sehingga hatinya tenang dan damai saat mengikuti Ekaristi. Nadine
menambahkan dengan menjaga mood
dengan baik, sehingag tetap tenang dan fokus. Tasya Hermanpelankahu melengkapi
dengan membaca Alkitab dan berpuasa 1 jam sebelum Ekaristi. Pelbagai jawaban
responden senada dengan penegasan Jacobus Tarigan, yakni pakaian memperlihatkan
sikap hormat, sikap menghargai, dan mengungkapkan suasana batin ketika
merayakan Ekaristi. Pakaian yang pantas mendukung keindahan liturgi. Dengan
demikian, kenakanlah pakaian yang pantas dan hormat.[9]
Selanjutnya mengenai perasaan, saat, dan
sesudah mengikuti Ekaristi. Sebelum mengikuti Ekaristi, para responden
merasakan sesuatu yang kurang dalam diri mereka, titik kebahagian dalam lubuk
hati mereka belum tersentuh; kadang merasa biasa-biasa saja, malas-malasan, dan
kadang merasa cemas. Melania menambahkan, sebagai anak kos dia jarang berdoa
selama 6 hari, sehingga muncul suatu kerinduan yang mendalam akan kasih Tuhan.
Nah, kerinduannya terpenuhi ketika mengikuti Ekaristi. Selanjutnya mengenai
perasaan pada saat dan sesudah Ekaristi, para responden merasakan sesuatu hal
yang luar biasa telah terjadi, sulit dirangkai dengan kata-kata, dan titik
kebahagiaan dalam lubuk hatinya sudah terpuaskan. Ambil contoh, T. Halima
sangat bahagia karena ia percaya kegiatan selama sepekan akan diselimuti oleh
rahmat Tuhan, Roh Kudus akan selalu menemaninya; kebahagiaan itu dilengkapi
oleh ungkapan Erna Sengkang bahwa ia menjadi pribadi yang baru. Jacobus Tarigan
melengkapi, Ekaristi mengembangkan spiritualitas, yang adalah kehidupan
berdasarkan kekuatan Roh Kudus yang memberi kita anugrah: persatuan, hidup
abadi, kemerdekaan iman, cinta kasih, kegembiraan dan ketenangan.[10]
Unek-unek yang terakhir mengenai tindakan konkret dan manfaat
yang dirasakan dari rahmat Ekaristi. Mengutip Nadine, ia melakukan sesuatu yang
tak terduga, yakni berdamai dengan dirinya sendiri dan keluarganya, serta
menulis homili yang menyentuh hatinya sebagai bahan refleksi selama sepekan.
Selanjutnya, semua responden merasakan manfaat yang luar biasa dari Ekaristi,
mengutip Erna Sengkang, Jeanette, dan Melania, manfaat Ekaristi ibarat vitamin
yang menjadi energi sebagai sumber kekuatan baru. Tasya dan Dinda menambahkan
manfaatnya ibarat alarm yang mengingatkan mereka selalu akan kasih Tuhan yang
sungguh mencintai mereka. Nadine menutupi bagian ini dengan jawaban jujur,
yakni agar bisa bermesraan dengan Tuhan; seperti istilah Keating: menuju
keintiman bersama Tuhan.[11]
Dengan demikian, tak perlu wacana panjang lebar, Ekaristi sangat bermanfaat
bagi kita. Manfaat itu tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata yang eksplisit;
saya hanya bisa menganalogikannya dengan kata “ibarat”. Manfaat Ekaristi jauh
melampaui pikiran kita yang minim. Itulah rahasia Yang Ilahi!
E.
Penutup: Refleksi Atas Situasi Perayaan Ekaristi Zaman
Now
Sebagai penutup, saya tidak merangkum
jawaban para responden karena, pada hemat saya, jawaban itu senada dengan suara
penghayatan kita masing-masing. Namun, saya mencoba menuangkan sedikit refleksi
atas situasi perayaan Ekaristi era modern ini. Pertama, saya sangat kagum dengan partisipasi umat beriman di ibu
kota yang beramai-ramai memenuhi gereja utuk bersyukur kepada Tuhan. Lihat
saja, jadwal misa di ibu kota sampai 6 kali. Hal ini menandakan, antusias umat
beriman dalam menimba rahmat Tuhan patut diacung jempol, selain itu dalam
berderma, umat sekalian, memberikan rejekinya dengan nominal yang cukup tinggi.
Seksi-seksi yang lumayan banyak juga ikut membantu perkembangan paroki
setempat. Realitas ini, jauh berbeda dengan sitausi di kampung halaman saya,
Manggarai. Walaupun mayoritas Katolik, umat sekalian mulai merasa asing
terhadap kehidupan Gereja. Juga sumbangan kepada pembangunan gereja masih
minim. Hemat saya, alasan ekonomis tidak menjadi masalah. Sebaiknya, ketika
mendapat rejeki, alangkah baiknya disisipkan sedikit untuk pembangunan gereja.
Selain itu, seksi-seksi juga masih sedikit, seperti hanya legio Maria, OMK, dan
BIA; BIA di setiap lingkungan tidak ada.
Sepi! Kehidupan gerejawi di ibu kota, sejauh ini, sangat baik!
Akan tetapi, kedua, arus modernisasi berupa sekularisasi menjadi bencana alam
bagi kehidupan Gereja. Dunia religius dalam pancaran terang agama dan Gereja ibarat
dunia takhayul. Mengutip Karl Marx juga dunia yang penuh janji-janji palsu,
tanpa “mengigit” realitas; hanya sebatas janji-janji yang cantik dan ciamik
tanpa mengubah kehidupan kaum lemah. Masyarakat modern, khusunya kaum muda,
tenggelam dalam lautan duniawi. Kaum muda sibuk mengarungi lautan duniawi,
katanya, mencari harta karun dunia, yaitu kebahagiaan instan yang memuaskan
dirinya; namun, tak terasa mereka tenggelam dan terseret arus duniawi
(modernisasi). Hal ini nampak dalam kehidupan gerejawi, kaum muda yang terlibat
dalam OMK dapat dihitung jari; juga yang memberanikan diri ikut panggilan Tuhan
menjadi imam atau kaum religius hanyalah orang-orang muda yang dianggap sinting
dan bodoh. Kehadiran kaum muda ibarat bayang-bayang saja dalam kehidupan
menggereja, diri rilnya terlihat dalam realitas duniawi.
Selain itu, ketiga, Gereja ibarat mal yang memuaskan kebahagiaan pribadi.
Banyak umat yang terlibat hanya numpang eksis atau menujukan kekayaan pribadi.
Tanpa melihat lebih jauh relasinya dengan Yang Ilahi. Ketika merayakan Ekaristi
hanya untuk menyenangkan diri, ketika romo berhomili dengan nada slow muali mengkritik; selain itu,
berpakaian juga ibarat jalan-jalan ke mal. Secara sederhana saya gambarkan:
situasi perayaan Ekaristi zaman now hanya
untuk menyenangkan diri sendiri, namun lupa akan makna Ekaristi sesungguhnya.
Oleh karena itu, tulisan sederhana dalam paper ini, selain memancing anak muda,
juga menyadarkan kita semua akan pentingnya Ekaristi Hari Minggu, juga hari
biasa, sebagai sesuatu yang sakral, suci, dan indah. Selamat berefleksi!
Daftar Pustaka
Dokumen Konsili Vatikan
II
Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonic)
Lukasik, A. 1991. Memahami Perayaan Ekaristi: Penjelasan
Tentang Unsur-Unsur Perayaan Ekaristi. Yogyakarta: Kanisius
Tarigan, Jacobus. 2011. Memahami Ekaristi. Jakarta: Cahaya
Pineleng
2011. Ritus Kehidupan.
Jakarta: Cahaya Pineleng
2012. Mempertimbangkan
Salah Kaprah dalam Liturgi. Jakarta: Cahaya Pineleng
2019. Spiritualitas Liturgi. Jakarta: Cahaya
Pineleng
Prasetyantha, Y. B. (ed), 2008. Ekaristi dalam Hidup Kita. Yogyakarta: Kanisius
Keating, Thomas. 2006. Intim Bersama Allah. Yogyakarta:
Kanisius
Para
Responden:
Erna
Sengkang (Paroki Marya Asumpta-Kupang)
Josephine
Jeanette (Paroki St. Matias Rasul, Kosambi)
Josephine
Nadine (Paroki Kristus Salvator
Adinda Ladjadjawa (Paroki Santa Perawan Maria Ratu, Blok
Theresya enjeli (Paroki
St. yoseph
Melanya (Paroki St.
Aloysius Cijantung)
Lia Ngapan (Gereja
Katolik Tritunggal Maha Kudus,
T. Halima (Paroki St.
yoseph Matraman)
Tasya Hermanpelangkahu
(Paroki Santa Perawan Maria Ratu, Jakarta Selatan)
[1] Jacobus Tarigan, Memahami Ekaristi (Jakarta: Cahaya
Pineleng, 2011), 165.
[2] Y. B. Prasetyantha
(ed), Ekaristi dalam Hidup Kita
(Yogyakarta: Kanisius, 2008), 21-22.
[3] Bdk. Dokumen
Konsili Vatikan II, 21.
[4] Kitab Hukum
Kanonik (Codex Iuris Canonic),
268-269.
[5] Dokumen Konsili
Vatikan II, 21.
[6] Bdk. Jacobus Tarigan, Ritus Kehidupan (Jakarta: Cahaya Pineleng, 2011), 55.
[7] Kitab Hukum Kanonik, 268.
[8] A. Lukasik, Memahami
Perayaan Ekaristi: Penjelasan Tentang Unsur-Unsur Perayaan Ekaristi
(Yogyakarta: Kanisius, 1991), 5.
[9] Jacobus Tarigan, Mempertimbangkan
Salah Kaprah dalam Liturgi (Jakarta: Cahaya Pineleng, 2012), 120-121.
keren bro, sangat menginspirasi...
ReplyDelete