Spiritualitas Liturgi: Sebuah Pemahaman Bagi Umat Beriman


Spiritualitas Liturgi: Sebuah Pemahaman Bagi Umat Beriman
Oleh
Arnoldus M Sengkang
(Mahasiswa STF Driyarkara-Jakarta)
  1. Pengantar
Istilah liturgi tentu sudah familiar dalam kehidupan beriman dan kebanyakan umat sudah memahami dan terlibat aktif di dalamnya. Namun, kita dapat mengkritisi dengan bertanya: sejauh mana umat beriman memahami liturgi? Apakah hanya numpang eksis? Ikut-ikutan? Atau karena saya dari lahir sudah Katolik? Atau ada alasan lain? Atau tidak ada jawaban? Jika ditelisik lebih mendalam, penulis yakin bahwa kebanyakan umat belum sepenuhnya memahami liturgi. Ambil contoh alasan klasik masyarakat di Manggarai-NTT, mereka menjadi Katolik dan memahami pelbagai ritus di dalamnya karena dari lahir mereka sudah menjadi Katolik, tumbuh dan dibesarkan dalam keluarga Katolik, mayoritas Katolik, sehingga mereka sudah mengetahui semuanya, tnpa diajari; alasan yang kuat, namun kurang logis, ialah karena nenek moyang dan orang tua mereka duluan menjadi katolik, jadi ikut-ikutan saja. Pelbagai alasan tersebut menurut penulis, masih dipengaruhi oleh faktor luar, bukan berdasarkan refleksi pribadi. Oleh karena itu, paket sederhana, yakni paper yang Anda baca kiranya dapat memberikan wawasan yang mencerahkan pemahaman saudara-saudari sekalian, sehingga semakin terarah kepada Tuhan, Yang Maha Kuasa. Semoga!
Paper ini akan diawali dengan penjelasan mengenai pemahaman singkat mengenai liturgi dan spiritualitas. Bagi Anda yang sudah mengetahuinya, penjelasan bagian B akan merefresh kembali ingatan Anda, sedangkan bagi Anda yang masih mencari jawabannya, ketahuilah Anda sudah menemukannya! Selanjutnya, penjelasan mengenai keterkaitan antara liturgi dan spiritualitas dengan menjawab pertanyaan inti: mengapa liturgi tidak dapat dipisahkan dari spiritualitas? Setelah itu, akan diperkenalkan kepada pembaca yang budiman spiritualitas kaum imam dan kaum religius, serta spiritualitas Anda sendiri, yaitu kaum awam. Paper ini akan ditutup dengan penjelasan mengenai dasar dan sumber utama spiritualitas, yang adalah Ekaristi. penjelasan tersebut merupakan “jantung-hati” (inti) paper ini. Akhir kata, selamat membaca, memahami, dan merefleksikannya!
  1. Selayang pandang pengertian liturgi dan spiritualitas
Liturgi
Secara etimologis, kata ‘liturgi’ berasal dari kata ‘leiturgia” (dari Bahasa Yunani: λείτούργιά) yang terdiri dari kata ‘ergon’ (karya) dan ‘leitos’ (bangsa). Dengan demikian, leiturgia berarti pelayanan atau karya yang dibaktikan bagi kepentingan bangsa. Namun, setelah diberi arti kultis, leiturgia lalu mengacu pada pelayanan ibadat. Dalam Perjanjian Baru, misalnya liturgi dimaknai sebagai pelayanan kepada Allah dan sesama, baik dalam ibadat maupun dalam pelbagai bentuk kehidupan lainnya. Pemahaman ini kemudian dipersempit hanya untuk Perayaan Ekaristi, sejak Abad Pertengahan, meskipun pada masa pasca para Rasul, Liturgi masih dipahami sebagai kegiatan ibadat dan doa dalam artian luas.[1]
Bagi umat Kristiani, liturgi lebih dari sekadar upacara ritual belaka. Liturgi merupakan sebuah perayaan yang mulia dan meriah. Dalam liturgi, umat Kristiani merayakan Misteri Paskah yang merupakan puncak seluruh keselamatan Allah dan bahkan puncak seluruh sejarah umat manusia.[2] Itulah sebabnya, Misteri Paskah lalu menjadi pusat dan jantung hati seluruh tahun liturgi Gereja (bdk. Sacrosantum Concilium (selanjutnya SC) No. 107). Di samping itu, melalui liturgi, terutama dalam kurban Ilahi Ekaristi, terlaksanalah karya penebusan kita (SC. 2). Kristus menebus kita supaya kita sebagai anggota Gereja memiliki kebersamaan dan kesatuan dengan Allah melalui Dia dalam Roh Kudus dan dengan warga Gereja sendiri (bdk. SC. 48). Tambahan pula, dengan merayakan ekaristi, Gereja sebenarnya mengungkapkan dan melaksanakan dirinya sebagai sakramen keselamatan Allah (SC. 5.26; LG. 48; GS. 42.45;AG. 1.5), karena Gereja menghadirkan Kristus, Sang Sakramen Induk itu. “Jadi, dari liturgi, terutama dari ekaristi, mengalirlah rahmat kepada kita, dan dengan hasil guna yang amat besar diperoleh pengudusan manusia dan pemuliaan Allah dalam Kristus, tujuan semua karya Gereja lainnya” (SC. 10) dan “…penampilan Gereja yang istimewa terdapat dalam keikutsertaan penuh dan aktif seluruh umat kudus dalam perayaan liturgi yang sama, terutama dalam Ekaristi.” (SC. 41).[3] Konsili Vatikan II juga memaknai liturgi secara eklesial sebagai perayaan seluruh Gereja (bdk. SC. 48.26). Kata ‘perayaan’ jelas menunjukkan dimensi komunal, unsur penting dalam komunitas Kristiani, yang dipertegas dengan penggunaan kata ‘seluruh Tubuh Gereja’.[4]
Pernyataan paling penting Konsili Vatikan II tentang liturgi terdapat dalam Sacrosanctum Concilium (SC 7): "Maka memang wajar juga liturgi dipandang bagaikan pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus; di situ pengudusan manusia dilambangkan dengan tanda-tanda lahir serta dilaksanakan dengan cara yang khas bagi masing-masing; di situ pula dilaksanakan ibadat umum yang seutuhnya oleh Tubuh Mistik Yesus Kristus, yakni kepala beserta para anggota-Nya".  Menurut SC 7, subjek liturgi adalah Kepala dan para anggota Tubuh Mistik Kristus. Itu berarti subjek atau pelaku liturgi adalah Yesus Kristus dan Gereja. Maka, liturgi selalu merupakan tindakan Kristus dan sekaligus tindakan Gereja. Oleh karena itu, defenisi liturgi dapat dirumuskan: sebagai perayaan misteri karya keselamatan Allah dalam Kristus, yang dilaksanakan oleh Yesus Kristus, Sang Imam Agung, bersama Gereja-Nya di dalam ikatan Roh Kudus.[5]
Spiritualitas
            Kata "spiritualitas" berkaitan dengan kata Latin "Spiritus" yang diterjemahkan dari kata Yunani "pneuma". Kata itu merupakan terjemahan dari kata Ibrani "ruah" yang melalui bahasa Arab masuk sebagai "roh" ke dalam Bahasa Indonesia. Dalam Alkitab "ruah" diakitkan dengan Roh Allah sendiri. Maka, "spiritus" dalam spritualitas dikaitkan dengan Roh Allah, di sini diartikan spiritualitas sebagai "hidup menurut dan dalam Roh Allah". Roh Allah mendorong dan menyemangati setiap orang beriman untuk berusaha mencapai kedewasaan dalam Kristus. Dengan kata lain, spiritualitas melibatkan setiap aspek kehidupan, baik individual maupun komunal. Spiritualitas dalam tradisi Ibrani sebagai penyatuan; tradisi Yunani sebagai kerinduan yang kuat untuk mengalami Allah; spiritualitas Kristen menggabungkan kedua aspek itu sehingga menambah vitalitas dan daya cipta Kristen secara mengagumkan.[6]
Dalam Perjanjian Lama (PL), spiritualitas sebagai pusat hidup rohani manusia seutuhnya dalam hubungannya dengan Tuhan. Umat PL memakai spiritus (roh) sebagai kekuatan Ilahi dan kehadiran Allah di tengah umat-Nya. Sedangkan dalam Perjanjian Baru (PB), roh pembaru yang dijanjikan dan dinatikan itu datang dan menjadi nyata dalam Yesus Kristus. Dengan demikian, kita yang percaya pada Kristus dan menerima sakramen pembaptisan, kita menerima Roh Kristus yang merupakan anugerah zaman akhir bagi kita.[7]
            Spiritualitas adalah kehidupan berdasarkan kekuatan Roh Kudus. Oleh Roh Kudus, kita diberi anugerah: persatuan, hidup abadi, kemerdekaan, iman, cinta kasih, kegembiraan, dan ketenangan. Dengan rendah hati dan kesabaran, dengan bantuan Roh Kudus, kita mencari kehendak Ilahi dari sumber asli gerejawi: Kitab Suci, Tradisi, dan Sakramen-sakramen, khusunya Sakramen Ekaristi.[8] Heuken menegaskan bahwa spiritualitas menandakan 'kerohanian' atau 'hidup rohani'. Spiritualitas mencakup dua segi, yakni askese atau usaha melatih diri secara teratur supaya terbuka dan peka terhadap sapaan Allah; juga segi mistik, sebagai aneka bentuk dan tahap pertemuan pribadi dengan Allah. Dengan demikian, askese menandakan jalan dan mistik menandakan tujuan hidup keagamaan manusia.[9]
            Sepanjang sejarah, selain liturgi umat Kristen mengembangkan pelbagai bentuk spiritualitas secara luas, seperti doa, meditasi, ziarah, ibadat, ABA (ayo baca Alkitab), dan sebagainya. Banyak kaum awam mengembangkan spiritualitasnya dengan doa-doa pribadi. Demikian pula biarawan-biarawati dengan spiritualitasnya masing-masing, seperti spiritualitas Fransiskan, Benediktin, Salesian, Ignasian, dan sebagainya. Namun, spiritualitas yang sehat selalu berhubungan dan tak terpisahkan dari Kitab Suci, Tradisi, dan perayaan sakramen-sakramen, khususnya Ekaristi.[10]
  1. Liturgi dan Spiritualitas
Mengapa liturgi dan spiritualitas tak dapat dipisahkan? Penjelasan berikut akan menjawab pertanyaan tersebut, sehingga pemahaman kita akan spiritualitas liturgi semakin komplit. Spiritualitas berkaitan langsung dan berhubungan erat dengan liturgi. Hubungan erat tersebut telah ditegaskan dalam cukup banyak dokumen Gereja. Demikain pula spiritualitas tak boleh dipahami secara sempit, tetapi justru mencakup seluruh kehidupan. Spiritualitas ekaristis bukanlah sekedar partisipasi dalam misa dan devosi kepada Sakramen Maha Kudus, melainkan mencakup seluruh kehidupan... maka Ekaristi sebagai sumber dan puncak kehidupan, serta perutusan Gereja, harus diterjemahkan menjadi spiritualitas, menjadi kehidupan yang dihayati menurut Roh (lih. SC No. 77; Rm 8:54; Gal 5:16,25).[11] Singkatnya, Ekaristi dapat diterjemahkan menjadi spiritualitas: hidup menurut Roh. Dengan demikian, dengan merayakan Liturgi Ekaristi, kita dapat merawat dan mengembangkan spiritualitas demi keterarahan kepada Allah. Liturgi Ekaristi adalah cara utama mengembangkan spiritualitas demi persatuan dan kemesraan dengan Allah.
  1. Spiritualitas Anak Allah: Imam, Kaum Religius, dan Kuam Awam
Spiritualitas Imamat
            Spiritualitas imamat mencakup spiritualitas setiap imam yang ditandai dengan sakramen yang berada di dalam Gereja yang mencakup perayaan dan pelaksanaan. Itu berarti bahwa spiritualitas imamat bertujuan untuk menolong imam untuk hidup lebih baik sebagaimana mestinya seorang imam, sehingga bisa membantu mereka yang ia layani. Sebab spiritualitas imamat bukan hanya sekedar apa yang dikerjakannya, tetapi menyangkut kodratnya sebagi imam.[12]
            Dasar spiritualitas imamat adalah pengalaman akan Allah. Pengalaman itu hanya bisa dimengerti sebaik mungkin oleh orang yang memilikinya.[13] Kehadiran Allah di dalam diri manusia melalui Roh Kudus menjadikan kita kudus dan selalu bersatu dengan-Nya. Senada dengan hal itu, Spiritualitas imamat memberikan suatu gambaran dasar untuk melaksanakan semua tanggung jawab kaum tertahbis yang tidak bisa dipisahkan dari terang Roh Kudus. Dasar itu tidak lain adalah pengalaman akan Allah. Maka titik perhatian utama para imam adalah mencari pengalaman itu. Dengan demikian, spiritualitas imamat menyadarkan suatu usaha untuk memperdalam pengalaman akan Allah yang sulit ditemukan batasannya.[14] Meminjam ungkapan Keating, yaitu menuju keintiman bersama Allah.[15]
Spiritulitas Kaum Religius
            Dalam hidup membiara terdapat spiritualitas yang khas seperti: spiritualitas Fransiskan, spiritualitas Benediktin, spiritualitas Agustinian, spiritualitas Salesian, spiritualitas Bunda Theresia, dan sebagainya. Masih banyak spritualitas kaum religius, tergantung dari santo atau tokoh mana yang dijadikan model panutan sejati. Penulis memberiakn salah satu spiritualitas dari konggregasi CICM, yaitu Pastor Theophile Verbist sebagai pendiri  menjadikan Bunda Maria sebagai teladan hidupnya, terutama dalam menghadapi setiap kesulitan dan tantangan yang berat. Sikap yang diteladani dari Bunda Maria adalah penyerahan diri yang total kepada kehendak Allah. Spiritualitas kerendahan hati dan penyerahan diri secara total kepada Allah juga menjadi spiritualitas CICM dengan menekankan semangat sehati-sejiwa (Cor Unum Et Anima Una). Kebersamaan dalam semangat sehati-sejiwa ini memiliki makna yaitu untuk mempererat tali persaudaraan antara semua pribadi.[16]
Spiritualitas Kaum Awam
            Spiritualitas awam tidak tumbuh dengan sendirinya, melainkan harus dibina, disegarkan dan didukung oleh umat, maksudnya oleh umat beriman lainnya, baik tetangga, teman sejawat, maupun rohaniwan. Maka, spiritualitas umat bercirikan kebersamaan, misalnya menyangkut keluarga, lingkungan, perkumpulan Katolik, dan sebagainya[17]. Dalam kehidupan keluarga, spritualitas diwujudkan dalam kasih antara suami-isteri dan antara orangtua dan anak-anak. SC No. 79 menegaskan kasih antara laki-laki dan perempuan, "keterbukaan kepada kehidupan dan pendidikan anak-anak adalah iklim khusus di mana Ekaristi dapat mengungkapkan kekuatannya untuk mengubah hidup dan memberinya makna yang penuh" (SC 79.[18]
  1. Ekaristi: Dasar dan Sumber Utama Spiritualitas
            Ekaristi merupakan dasar dan sumber utama spiritualitas. Dengan merayakan Ekaristi pada hari Minggu-juga ekaristi harian- kita justru mengembangkan spiritualitas. Ekaristi memberikan kekuatan untuk mengubah hidup dan memberi makna yang penuh. Kita menjadi berkenan pada Allah dari hari ke hari. Ekaristi adalah sakramen cinta kasih, yang mengungkapkan kasih Allah tanpa batas kepada kita. Kasih Allah itulah yang menguatkan ikatan perkawinan suami-isteri dan memberi daya kekuatan untuk mendidik anak-anak. Ekaristi mendorong dan mendukung orang beriman Kristiani untuk menghayati panggilan mereka kepada kekudusan dalam hidup sehari-hari yang biasa-biasa.[19] Dengan Demikian, Ekaristi merupakan sumber dan puncak Kristiani. Hal ini dikatakan demikian karena dalam Ekaristi dirayakan misteri wafat dan kebangkitan Kristus, dimana hal ini merupakan inti dari peryaan Ekaristi sendiri. Dengan kata lain, dalam peryaan Ekaristi kita mengenangkan kembali sekaligus menyadari bahwa Kristus hadir dan sebagai sumber kehidupan kita yang kita peroleh lewat Ekaristi. Oleh karena itu, semua sakramen yang dilakukan Gereja sebagai bentuk karya atau pelayanan terhadap umat berhubungan erat dan terarah pada Ekaristi karena melalui Ekaristi Kristus hadir dalam rupa atau wujud roti dan anggur.
            Menurut Paus Benediktus, kalau dihayati secara serius Ekaristi dapat mengubah dunia dan itulah satu-satunya yang dapat mengubah dunia. Ekaristi adalah pusat spiritualitas keluarga Kristen. Ekaristi adalah Sakramen Cinta Kasih. Segala sesuatu berasal "dari kasih Allah, diciptakan oleh kasih, diarahkan menuju kasih (Deus Caritas Est, 2). Gereja hidup dari Ekaristi.[20] Gereja adalah wujud kongkret dari kenyataan bahwa Allah begitu mencintai terhadap manusia. Alla sendiri memanggil Gereja sebagai kumpulan orang-orang berdosa untuk menjadi sarana keselamaran. Dalam hal ini Gereja tidak berhak mengklaim bahwa Gereja sendirilah yang menyatakan dirinya terpilih, melainkan karena cinta kasih Allah Ia memperkenankan Gereja menjadi sarana keselamatan. Semua ini murni kemurahan hati Allah, yang pertama-tama mengasihani, mengampuni dan mengutus warga Gereja. Dari apa yang nyata dalam Gereja inilah orang diharapkan bisa menangkap pesan bahwa Allah pasti mencintai semua orang tanpa kecuali dengan cara yang sama. Dengan iman-nyalah Gereja menjadi sakramen keselamatan Allah.
  1. Penutup
            Liturgi lebih dari sekadar upacara ritual belaka. Liturgi merupakan sebuah perayaan yang mulia dan meriah. Dalam liturgi Ekaristi, umat Kristiani merayakan Misteri Paskah yang merupakan puncak seluruh keselamatan Allah dan bahkan puncak seluruh sejarah umat manusia.[21] Ekaristi merupakan dasar dan sumber utama spiritualitas. Ekaristi justru mengembangkan spiritualitas. Ekaristi memberikan kekuatan untuk mengubah hidup dan memberi makna yang penuh. Kita menjadi berkenan pada Allah dari hari ke hari. [22] Devosi dan doa-doa lainya, meditasi, ziarah batin, ABA (Ayo Baca Alkitab, Warkop Kristiani, Katolik vidgram, dan sebagainya hanyalah jalan-jalan lain untuk mengembangkan spiritualitas. Ekaristi adalah dasar dan jalan utama. Dengan demikian, pembaca yang budiman diharapkan tidak melewatkan Ekaristi, khusunya pada hari Minggu-juga hari lainnya. Sudahkan Anda setia mengikuti perayaan Ekaristi?
Daftar Pustaka
Keating, Thomas. 2006. Intim Bersama Allah. Yogyakarta: Kanisius

Martasudjita, E.
2005. Ekaristi: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral. Yogyakarta: Kanisius
2003. Sakramen-Sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral. Yogyakarta: Kanisius
             1999. Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah, dan Teologi Liturgi. Yogyakarta: Kanisius

Tarigan, Jacobus. 2011. Memahami Liturgi. Jakarta: Cahaya Pineleng
                            2019. Spiritualitas Liturgi. Jakarta: Cahaya Pineleng
Tinambunan, Edison R. L. 2004. Spiritualitas Imamat: Sebuah Pendasaran. Malang: Dioma

Suharyo, Ignatius. 2009. Gereja yang Melayani dengan Rendah Hati, edit. E. Martasudjita. Yogyakarta: Kanisius
Heuken, A. 2002. Spiritualitas Kristiani: Pemekaran Hidup Kristiani Selama Dua Puluh Tahun. Jakarta: Yayasan Cipta Loka




[1] Bdk. Jacobus Tarigan, Memahami Liturgi (Jakarta: Cahaya Pineleng, 2011), 2-3.
[2] Ignatius Suharyo, Gereja yang Melayani dengan Rendah Hati, edit. E. Martasudjita (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 40.
[3] E. Martasudjita, Ekaristi: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral (Yogyakarta: Kanisius2005), 301.
[4] E. Martasudjita, Sakramen-sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral (Yogyakarta: Kanisius2003), 296.
[5] E. Martasudjita, Sakramen-sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral, 25-27.
[6] Jacobus Tarigan, Spiritualitas Liturgi (Jakarta: Cahaya Pineleng, 2019), 59-61.
[7] Jacobus Tarigan, Spiritualitas Liturgi, 61.
[8] Jacobus Tarigan, Spiritualitas Liturgi, 9.
[9] A. Heuken, Spiritualitas Kristiani: Pemekaran Hidup Kristiani Selama Dua Puluh Tahun (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2002), 11.
[10] Jacobus Tarigan, Spiritualitas Liturgi, 64-65.
[11] Jacobus Tarigan, Spiritualitas Liturgi, 13-14.
[12] Edison R. L Tinambunan, Spiritualitas Imamat: Sebuah Pendasaran (Malang: Dioma, 2004) vi.
[13] Edison R. L Tinambunan, Spiritualitas Imamat: Sebuah Pendasaran, 2.
[14] Edison R. L Tinambunan, Spiritualitas Imamat: Sebuah Pendasaran, 4-5.
[15] Thomas Keating, Intim Bersama Allah (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 177.
[17] A. Heuken, Spiritualitas Kristiani: Pemekaran Hidup Kristiani Selama Dua Puluh Tahun, 212.
[18] Jacobus Tarigan, Spiritualitas Liturgi, 15.
[19] Jacobus Tarigan, Spiritualitas Liturgi, 67.
[20] Jacobus Tarigan, Spiritualitas Liturgi, 68.
[21] Ignatius Suharyo, Gereja yang Melayani dengan Rendah Hati, edit. E. Martasudjita, 40.
[22] Jacobus Tarigan, Spiritualitas Liturgi, 67.

0 Comments:

Post a Comment