gambar: https://pixabay.com/id/illustrations/seni-wajah-topeng-kepala-3-wajah-2174145/
Hidup
Itu Perlu Tertawa
(Catatan
Reflektif Kegiatan PSE Hari Pertama)
Oleh:
Nando Sengkang, CICM
Mari kita mengawali ini dengan
tanya-menanyai sesuatu….
Sebenarnya, kehidupan itu apa? Mengapa
kita perlu menjalaninya?
Lebih jauh…apakah kehidupan itu perlu
ditertawai?
Ataukah perlu ditekuni, digeluti,
diperjuangkan mati-matian?
Atau bagaimanana…?
Atau seperti apa?
Sepenggal kisah sederhana ini akan
sedikit menggelitik pertanyaan sederhana di atas.
Ibu
kota. Namanya Jakarta.
Siapa
yang tak tahu? Yang tak tahu adalah yang memang tidak tahu, juga tidak mau
tahu. Atau tidak pernah tahu. Yang tahu adalah yang mengetahuinya.
Lantas,
bagaimana modelnya ibu kota itu? Wajah ibu kota tentu sungguh cantik, eksotis,
estetis, dan selalu eksis. Kecantikan itu terbukti dari hiasan
bangunan-bangunan megah-nan mewah dengan teknologi mutakhir yang super canggih. Wajah yang cantic itu menarik ribuan orang,
baik dari desa yang ndeso, hingga orang luar yang asing. Mereka
ramai-ramai datang menumpuk di ibu kota. Kedatangan itu bukan tanpa alasan,
melainkan dengan alasan yang sungguh sederhana “mencari kehidupan yang lebih
baik”
Alasan
itu memang sederhana sekali. Itu berarti, kehidupan mereka sebelumnya, baik di
desa maupun di daerah lain, masih minim, penuh kekurangan. Oleh karena itu,
mereka perlu “bertamasya” ke kota untuk waktu yang lama. “Bertamasya” bukan
untuk liburan, melainkan untuk bergulat dengan penuh perjuangan yang gigih,
juga “gigi yang kuat dan perut yang kenyang”- kata Nietzsche. Dengan perjuangan
yang gigih itu, mereka mulai mengadu nasib di ibu kota, yang katanya cantik dan
eksotis itu. Ibarat serdadu Troya, mereka akan berlaga di medan tempur demi
kemenagan yang jaya dan harga diri yang agung. Berjuang! Selain itu, mereka mengagunggkan
satu visi yang ingin dicapai, yaitu sukses! Lantas hasilnya? Apakah
perjuangan mereka membawa keberhasilan? Kesuksesan? Atau sebaliknya?
Tentu, kita bisa menjawabnya sendiri.
Cerita
berikut ini adalah sesuatu yang kontras dengan visi di atas. Rupanya, alih-alih
meraih kesuksesan di Jakarta, mereka justru menggapai bulan yang memang tak kan
pernah digapai. Visi itu hanyalah utopis belaka. Maksudnya, hanya mimpi yang
hanyalah impian Bersama angan-angan yang menerawang, tak pernah terwujud!
Adalah
eyang Hariyono, seorang pensiunan Bidan yang sudah berumur. Dia tinggal
di rumah sempit, nan sederhana. Saya Bersama Fr. Remon, beserta ibu Erna
perwakilan komunitas PSE-Salvator, Slipi, melakukan blusukan gaya penagih utang
atau dept collector. Kedatangan kami di rumah kecil itu disambut dengan
kehangatan seorang abdi dalem Kraton Yogyakarta. Kehangatan itu membuat
kami merasa rileks ketika saling tukar-menukar cerita. Satu cerita yang
menyentuh, yaitu eyang Hariyono mengawali rutinitas hariannya itu dengan
merayakan Ekaristi. Katanya, dengan memohon tuntunan Tuhan, kegiatannya akan
berjalan lurus dan mulus. Selain itu, dia menceritakan masa-masa pekerjaannya
serta carut-marut hidupnya, khusunya masa-masa gelap. Masa gelap itu merupakan
air mata kehidupannya. Air mata itu lama-kelamaan menjadi air mata terapis,
yakni kembali mengobati kesedihannya. Seperti bumerang, awalnya air mata
kesedihan, tetapi kembali menjadi kebahagiaan. Itu artinya, eyang selalu
mengambil suatu pembelajaran dari suatu peristiwa; hingga akhirnya peristiwa
itu dilaluinya dengan kegembiraan yang riang. Eyang menceritakan
pengalamannya dengan wajah yang cerah dan nuansa humor yang segar, sehingga
menggelitik perut dan menghasilkan ledakan tawa yang rileks. Di balik
kesederhanaannya, rupanya eyang sempat mebuat orang Bahagia dengan
cara sederhana, hanay menghibur saja. Dari pertemuan pertama ini, eyang memberikan
pembelajaran sederhana bahwa hidup itu dimulai dengan rasa syukur kepada Tuhan,
misalnya Ekaristi pagi hari. Selanjutnya, suka duka hidup itu harus dilalui
dengan santai, tenang, dan sesekali tertawa. Jika mau, berkali-kali menertawai
kesedihan kita agar kesedihan itu cepat berlalu.
Dari Yogyakarta, kita berlabuh ke
Timur, tepatnya Surabaya. Kami menjumpai satu keluarga kecil yang tinggal dalam
kos-kosan yang kecil pula. Namanya, ibu Mega, asal Surabaya. Dia tinggal bersama
suaminya yang pengangguran. Pengangguran bukan karena lepas tanggung jawab,
namun, suatu cinta kesetiaan suami kepada isterinya. Kesetiaan macam apa?
Ceritanya menarik, perlu suatu refleksi yang mendalam…
Isterinya,
ibu Mega, terkena strok berat. Strok itulah yang menjadi musibah bagi
keluarganya. Pertama, menyeret suaminya dari pekerjaanya, sehingga suaminya
tidak bekerja sama sekali, kedua, menguras uang yang banyak, ketiga, adalah
membebani puti tunggalnya menjadi tulang punggung keluarga. Putri semata wayang
akhirnya menjadi tulang punggung yang begitu berat bagi keluarganya, sedangkan
suaminya bertanggung jawab menjadi merpati yang sangat penuh setia kepada
isteri tercinta.
Keluarga
ini sangatlah unik, keunikan itu kata iman kita merupakan buah dari cara
Tuhan yang tidak kita pahami. Dari musibah strok, seolah-olah mereka langsung
menyalahkan Tuhan. Dari musibah pemutusan kerja suaminya, seolah-olah mereka langsung menyalahkan
Tuhan. Dari bukti putri tunggal yang memanggul salib keluarga, seolah-olah
mereka langsung menyalahkan Tuhan. Tentu awalnya, mereka menyalahkan Tuhan atas
semua keadaan itu. Mengapa begini, mengapa begitu…kejam!!!
Akan
tetapi, itulah cara Tuhan yang tidak kita pahami. Cara itu adalah Tuhan
menunjukan kepada kita, melalui keluarga ibu Mega, apa artinya kesetiaan
bagi keluarga kita sendiri. Arti kesetiaan pertama dibuktikan oleh suami yang
setiap saat menemani isterinya. Arti kesetiaan kedua, dibuktikan oleh kesetiaan
seorang anak mengabdi kepada orangtuanya. Arti kesetiaan ketiga, mereka Bersatu
padu sebagai satu kelurga, sama-sama memikul salib kehidup. Salib kehidupan
keluarga ibu Mega sangatlah berat, akan tetapi, Ibu Mega memikulnya penuh suka
cita. Kesukacitaan ini mengingatkan kita akan si Dia yang memikul beban dosa ke
puncak kemenangan, tanda suatu kasih Allah yang tiada tara. Seperti itulah
sukacita ibu Mega. Dia membagi sukacita itu dengan cerita-ceritanya yang
menyentuh hati, juga membuat kami sangat terhibur. Sebenarnya, kedatanagan kami
menghibur dirinya, justru sebaliknya, dialah yang menghibur kami agar selalu
bersuka cita dalam menjalani hidup ini. Dengan kesetiaan sebagai satu keluarga,
mereka menyulap kesedihan atau kemalangan keluarga mereka sendiri, menjadi teater
baru yang mempertontonkan makna kesetiaan.
Kisah sederhana di atas adalah
gambara dari wajah Jakarta yang lain. Di balik keindahan Gedung-gedung menuju surge,
serta gemerlap cahaya lampu, Jakarta menyembunyikan kejelekannya. Bersama
komunitas PSE, perlahan-lahan tabir kejelekan itu tersingkap, sehingga semua
mata memandang keburukan itu, dan semua tanggan bergotongroyong mengobati nya,
dan semua Pundak sama-sama memikul beban yang ada, menuju keringanan kesejahteraan.
Oleh
karena itu, kiranya dua kaum tersisih di atas, sedikit menjawab pertanyaan kita
pada awal cerita ini. Selamat menikmati hidup dalam terang kasih Allah, dan
sarapan Ekaristi pagi!
*Nando Sengkang:
Mahasiwa
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan Anggota tarekat CICM
0 Comments:
Post a Comment