Manfaat Pendidikan dalam Mitos Alegori Goa Platon: dari Kegelapan Menuju ke Arah yang Terang





Manfaat Pendidikan dalam Mitos Alegori Goa Platon:
dari Kegelapan Menuju ke Arah yang Terang

Oleh
Nando Sengkang
            (Mahasiswa STF Driyarkara-Jakarta)

Tanpa wacana panjang-lebar, kita semua tentu sepakat bahwa pendidikan sangat berguna dalam revitalisasi kehidupan kita, dengan salah satu manfaatnya: mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan, bagi penulis, ibarat obat mustajab yang dapat menyembuhkan, meminjam pengertian KBBI, “penyakit-penyakit” kebodohan: kekeliruan, kesalahan (tanpa kritis), ketidaktahuan. Argumentasi tersebut berangkat dari kebiasaan bereksperimen penulis yaitu meneropong realitas: melihat masalah-masalah sekitar, melihat lebih jauh. Badai masalah yang menerpa kehidupan kita, penyebab utama, menurut penulis, adalah macetnya cara berpikir yang sehat: benar dan sejati. Dengan macetnya cara berpikir yang sehat, hal itu akan menciptakan penyakit-penyakit baru, yaitu “penyakit kebodohan”. Oleh karena itu, peran Pendidikan, seperti obat mustajab, sangat esensial dalam menyembuhkan penyakit tersebut.
Argumentasi penulis di atas, jika dikristisi, bernada kontroversial? Mengapa? Karena dalam kehidupan kita banyak juga orang-orang yang tidak mencicipi dunia Pendidikan, toh, berhasil. Bahkan, lebih berhasil dari mereka yang menikmati indahnya Pendidikan yang pada akhirnya menjadi pengangguran, menambah volume penganggurang bangsa ini. Fakta tersebut tak bisa dihindari, penulis tidak bermaksud untuk merendahkan mereka yang belum mencicipi dunia pendidikan, akan tetapi penulis cemas bahwa dengan tidak adanya suplai Pendidikan di otak kita, maka kita (maaf) akan seperti kerbau dicocok hidung, diperintah kapanpun dan dimanapun, suka-suka! Penulis sangat  prihatin dengan nasib orang-orang yang berada dalam gengaman gembala (si kuat) yang seenaknya dan searogan menarik tali itu, suka-suka! Dengan paket sederhana, yaitu tulisan sederhana ini, penulis menggelorakan manfaat pendidikan, selain ibarat obat mustajab, juga sangat ampuh dalam memotong atau memutuskan tali mentalitas kerbau dicocok hidung.
Agar lebih mencerahkan, selain mengemukakan pendapat penulis untuk memantik kesadaran bersama, penulis menampilkan mitos Alegori Goa Platon sebagai cahaya utama untuk mencerahkan pemahaman kita, yang mungkin masih minim, mengenai manfaat Pendidikan. Mitos tersebut dipopulerkan oleh Platon, seorang filsuf klasik Yunani, yang hidup ribuan tahun silam. Oleh karena itu, sebelum melangkah lebih jauh, penulis mengajak pembaca untuk berkenalan dengan Platon, sehingga dengan mengetahui Platon, alegori yang ditawarkannya dapat mencerhakan kita semua. Naif jika dilewatkan!

Sekilas tentang Platon
Plato atau Platon lahir di Athena tahun 428/427 SM dan meninggal di kota yang sama pada tahu 348/347 SM, pada usia 81 tahun. Menurut kisah mistik yang beredar, Platon lahir tanggal 7 Bulan Thargelion (Oktober), tanggal kelahiran Dewa Apollon. Platon berasal dari keluarga ningrat tinggi di Athena, anak Ariston keturunan Kodros-raja legendaris Athena yang terakhir. Ibunya, Periktione, keturunan dari Solon-legislator pertama polis (negara/kota) Athena (A. Setyo Wibowo, 2010: 15-16). Sebenarnya, nama aslinya Aristokles. Karena dahi dan bahunya amat lebar, ia dijuluki “Plato” dari pelatih senamnya. Plato (Platon) dalam bahasa Yunani berasal dari kata benda “platos” (kelebarannya/lebarnya) yang dibentuk dari kata sifat “platus” (lebar). Dengan demikian, nama Plato (Platon) berarti “Si Lebar” (J. H. Rapar, 1991: 41).
Waktu muda, Platon menerima pendidkan musik (mousike: Pendidikan sastra dan seni secara umum) dan gimnastik. Menurut informasi Diogenes Laretios, setelah itu Platon belajar melukis, berpuisi, dan menulis tragedi. Platon belajar pada Sokrates (469-339 SM)-gurunya yang terkenal sebagai orang bijak (A. Setyo Wibowo, 2010: 16). Setelah kematian gurunya, Platon mengembara ke Mesir, kemudian Sisilia, lalu ke Italia Selatan. Keberadaanya di perantauan menambah pengalaman-pengalaman yang membentuk kepribadiaanya. Setelah kembali ke Athena, pada tahun 367 SM dia membuka sekolah filsafat bernama Academica, di mana Aristoteles menjadi salah seorang murid yang terkenal (Acry Deo Datus, 2013: 129).



Alegori Goa Platon
            Alegori Goa dimulai dengan penggambaran situasi manusia menjadi tahanan di dalam goa. Pengalaman tertawan dan berada dalam goa adalah perumpamaan untuk kondisi manusia yang tidak terdidik. Platon bertutur tentang para tawanan yang tinggal di dalam sebuah goa, mereka terantai sedemikian rupa sehingga pandangan mata para tawanan hanya bisa terarah ke dinding goa. Di dasar goa, di belakang para tawanan yang terantai, ada semacam tembok kecil meninggi yang memisahkan para tawanan dari lalu-lalang budak-budak yang membawa benda-benda di balik tembok tersebut. Dan lebih tinggi lagi ada kobaran api yang menerangi kegelapan goa. Sepanjang hidupnya, para tawanan hanya melihat bayang-bayang yang terpantul di dinding goa.

Oleh karenanya, sangat wajar bahwa mereka menganggap bayang-bayang tersebut sebagai realitas yang sebenarnya. Satu-satunya kenyataan adalah bayang-bayang, dan itulah yang mereka anggap realitas yang sebenarnya. Suara para budak yang lalu lalang dianggap para tawanan sebagai suara dari bayang-bayang yang mereka saksikan (A. Setyo Wibowo, 2017: 113-114).
            Dari deskripsi yang diberikan, kita akan tahu bahwa goa itu memiliki pintu keluar, sehingga ketika seorang tawanan terbebaskan dia akan bisa keluar. Pintu itu cukup besar, namun jalan menuju pintu tersebut menanjak dan curam. Pintu terletak jauh di atas dan terbuka sepenuhnya ke cahaya dari luar. Sebagaimana Platon tidak menerangkan mengapa mereka menjadi tawanan, dia juga tidak menerangkan mengapa ada satu tawanan yang akhirnya terbebakan dari rantainya. Tawanan tersebut dikatakan bahwa ia terbebaskan secara sumbainoi (aksidental, terjadi begitu saja). Bila pembebasa tawanan terjadi begitu saja, maka pada kisah selanjutnya, upaya sang tawanan untuk naik keluar goa bukan kebetulan, juga sengaja (kemauan sendiri), melainkan sebuah “paksaan” (A. Setyo Wibowo, 2017: 113-114).
            Ada dua momen menarik untuk dicermati: pertama, proses paidea (Pendidikan) awalnya adalah sebuah kebetulan belaka, namun kebetulan yang disertai pengorbanan dari si tawanan. Saat seorang tawanan terbebaskan mulai menengok, melihat cahaya api dan benda-benda sumber pantulan, dia merasakan sakit di mata (baca: silau). Kedua, begitu momen awal terlampaui, ketika proses paidea berlanjut, ia akan naik lagi (karena dipaksa) meniti jalan curam menuju pintu keluar. Di sini, dimensi pengorbanan menjadi lebih nyata karena karena Platon mengambarkan sebagai “paksaan”. Sama halnya dengan, orang-orang yang dipaksa untuk bersekolah. Jika mengikuti keinginan sendiri, maka kemungkinan untuk tidak terjun dalam dunia Pendidikan sangat mungkin terjadi. Akhirnya, proses naik sang tawanan keluar goa berakhir pada penglihatan matahari, sebagai sumber segala sesuatu yang ada di luar goa dan simbol kebaikan, pengetahuan benar dan sejati (bdk. A. Setyo Wibowo, 2017: 115-116).
Dari Kegelapan Menuju ke Arah yang Terang
Alegori Goa Platon mengandung banyak tafsiran, tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Menurut Platon, para tawanan yang duduk manis dalam kegelapan, sambil menikmati bayang-bayang sebagai wujud realitas, adalah kondisi manusia yang tidak terdidik. Mereka selamanya menganggap bayang-bayang itulah kenyataan sebenar-benarnya. Tanpa mengetahui lebih jauh bahwa realitas yang otentik ada di luar goa. Penulis menafsirkan kondisi ini sangat gamblang menunjukan orang-orang yang tidak mencicipi dunia Pendidikan, sehingga memiliki pengetahuan yang miskin (baca:sedikit), serta terlalu cepat menyimpulkan sesuatu sebagai yang benar, tanpa melihat lebih jauh wujud asli kebenaran itu. Sesuatu yang mereka lihat itulah realitas, tanpa menggali kebenaran yang lebih dalam.
Selanjutnya, ketika seorang tawanan keluar menuju pintu, ia tentu melewati jalan curam dan terjal. Hal ini menunjukan bahwa proses paidea (Pendidikan) tidak seperti jalan tol, tetapi penuh lika -liku atau tantangan yang bercabang. Usaha sang tawanan keluar dari kegelapan patut diacung jempol, penulis menafsirkan bahwa kita semua, khususnya mereka yang belum mencicipi dunia Pendidikan, harus berani keluar menuju arah yang terang: keluar dari zona nyaman, keluar dari pemahaman primitif, keluar dari sikap fanatik, keluar dari daerah kemalasan, keluar dari kebiasaan buruk, dst menuju cahaya terang: benar dan sejati. Jika, usaha menuju ke luar itu tersendat, yang disebabkan oleh ketidakmauan pribadi untuk sekolah dan merubah diri, Platon menganjurkan paksaan sebagai jalan keluar. Dengan paksaan dari orang tua, lingkungan, atau siapa saja terhadap mereka yang tidak ingin mencicipi dunia pendikan, alhasil mereka akan menyadari dan merubah cara pandang primitif itu.
Akhirnya, ketika seorang tawanan tiba di luar goa, dia akan menemukan begitu banyak realitas yang lebih dari pada hanya bayang-bayang di dasar goa. Dia juga akan melihat matahari, simbol kebaikan, pengetahuan benar dan sejati. Semua penglihatan itu merubah pemahaman sang tawanan sebelumnya yang sangat miskin dan menambah wawasannya. Dengan mencicipi Pendidikan, sekurang-kurangnya pernah bersekolah, kita akan seperti sang tawanan, yaitu melihat matahari sebagai gambaran kebaikan dan pengetahuan yang benar dan sejati. Oleh karena itu, pembaca yang budiman silahkan memilih: duduk manis seperti tawanan di dasar goa atau mengikuti sang tawanan yang berani keluar menuju goa? Selamat memilih! Jika bingung, baca kembali Alegori Goa Platon. Baca!




0 Comments:

Post a Comment