dari Kegelapan
Menuju ke Arah yang Terang
Oleh
Nando Sengkang
(Mahasiswa
STF Driyarkara-Jakarta)
Tanpa wacana
panjang-lebar, kita semua tentu sepakat bahwa pendidikan sangat berguna dalam revitalisasi
kehidupan kita, dengan salah satu manfaatnya: mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan, bagi penulis, ibarat obat mustajab yang dapat menyembuhkan,
meminjam pengertian KBBI, “penyakit-penyakit”
kebodohan: kekeliruan, kesalahan (tanpa kritis), ketidaktahuan. Argumentasi
tersebut berangkat dari kebiasaan bereksperimen penulis yaitu meneropong
realitas: melihat masalah-masalah sekitar, melihat lebih jauh. Badai masalah
yang menerpa kehidupan kita, penyebab utama, menurut penulis, adalah macetnya cara
berpikir yang sehat: benar dan sejati. Dengan macetnya cara berpikir yang sehat,
hal itu akan menciptakan penyakit-penyakit baru, yaitu “penyakit kebodohan”.
Oleh karena itu, peran Pendidikan, seperti obat mustajab, sangat esensial dalam
menyembuhkan penyakit tersebut.
Argumentasi penulis di
atas, jika dikristisi, bernada kontroversial? Mengapa? Karena dalam kehidupan
kita banyak juga orang-orang yang tidak mencicipi dunia Pendidikan, toh,
berhasil. Bahkan, lebih berhasil dari mereka yang menikmati indahnya Pendidikan
yang pada akhirnya menjadi pengangguran, menambah volume penganggurang bangsa
ini. Fakta tersebut tak bisa dihindari, penulis tidak bermaksud untuk merendahkan
mereka yang belum mencicipi dunia pendidikan, akan tetapi penulis cemas bahwa dengan
tidak adanya suplai Pendidikan di otak kita, maka kita (maaf) akan seperti
kerbau dicocok hidung, diperintah kapanpun dan dimanapun, suka-suka! Penulis
sangat prihatin dengan nasib orang-orang
yang berada dalam gengaman gembala (si
kuat) yang seenaknya dan searogan menarik tali itu, suka-suka! Dengan paket sederhana, yaitu tulisan sederhana
ini, penulis menggelorakan manfaat pendidikan, selain ibarat obat mustajab,
juga sangat ampuh dalam memotong atau memutuskan tali mentalitas kerbau dicocok
hidung.
Agar lebih mencerahkan,
selain mengemukakan pendapat penulis untuk memantik kesadaran bersama, penulis
menampilkan mitos Alegori Goa Platon
sebagai cahaya utama untuk mencerahkan pemahaman kita, yang mungkin masih
minim, mengenai manfaat Pendidikan. Mitos tersebut dipopulerkan oleh Platon,
seorang filsuf klasik Yunani, yang hidup ribuan tahun silam. Oleh karena itu,
sebelum melangkah lebih jauh, penulis mengajak pembaca untuk berkenalan dengan
Platon, sehingga dengan mengetahui Platon, alegori yang ditawarkannya dapat
mencerhakan kita semua. Naif jika dilewatkan!
Sekilas
tentang Platon
Plato
atau Platon lahir di Athena tahun 428/427 SM dan meninggal di kota yang sama
pada tahu 348/347 SM, pada usia 81 tahun. Menurut kisah mistik yang beredar,
Platon lahir tanggal 7 Bulan Thargelion (Oktober), tanggal kelahiran Dewa
Apollon. Platon berasal dari keluarga ningrat tinggi di Athena, anak Ariston
keturunan Kodros-raja legendaris Athena yang terakhir. Ibunya, Periktione,
keturunan dari Solon-legislator pertama polis (negara/kota) Athena (A. Setyo
Wibowo, 2010: 15-16). Sebenarnya, nama aslinya Aristokles. Karena dahi dan
bahunya amat lebar, ia dijuluki “Plato” dari pelatih senamnya. Plato (Platon)
dalam bahasa Yunani berasal dari kata benda “platos” (kelebarannya/lebarnya)
yang dibentuk dari kata sifat “platus” (lebar). Dengan demikian, nama Plato
(Platon) berarti “Si Lebar” (J. H. Rapar, 1991: 41).
Waktu
muda, Platon menerima pendidkan musik (mousike:
Pendidikan sastra dan seni secara umum) dan gimnastik. Menurut informasi
Diogenes Laretios, setelah itu Platon belajar melukis, berpuisi, dan menulis
tragedi. Platon belajar pada Sokrates (469-339 SM)-gurunya yang terkenal sebagai
orang bijak (A. Setyo Wibowo, 2010: 16). Setelah kematian gurunya, Platon
mengembara ke Mesir, kemudian Sisilia, lalu ke Italia Selatan. Keberadaanya di
perantauan menambah pengalaman-pengalaman yang membentuk kepribadiaanya.
Setelah kembali ke Athena, pada tahun 367 SM dia membuka sekolah filsafat
bernama Academica, di mana Aristoteles menjadi salah seorang murid yang
terkenal (Acry Deo Datus, 2013: 129).
Alegori Goa Platon
Alegori Goa dimulai dengan
penggambaran situasi manusia menjadi tahanan di dalam goa. Pengalaman tertawan
dan berada dalam goa adalah perumpamaan untuk kondisi manusia yang tidak
terdidik. Platon bertutur tentang para tawanan yang tinggal di dalam sebuah
goa, mereka terantai sedemikian rupa sehingga pandangan mata para tawanan hanya
bisa terarah ke dinding goa. Di dasar goa, di belakang para tawanan yang
terantai, ada semacam tembok kecil meninggi yang memisahkan para tawanan dari
lalu-lalang budak-budak yang membawa benda-benda di balik tembok tersebut. Dan
lebih tinggi lagi ada kobaran api yang menerangi kegelapan goa. Sepanjang
hidupnya, para tawanan hanya melihat bayang-bayang yang terpantul di dinding
goa.
Oleh
karenanya, sangat wajar bahwa mereka menganggap bayang-bayang tersebut sebagai
realitas yang sebenarnya. Satu-satunya kenyataan adalah bayang-bayang, dan
itulah yang mereka anggap realitas yang sebenarnya. Suara para budak yang lalu lalang
dianggap para tawanan sebagai suara dari bayang-bayang yang mereka saksikan (A.
Setyo Wibowo, 2017: 113-114).
Dari deskripsi yang diberikan, kita
akan tahu bahwa goa itu memiliki pintu keluar, sehingga ketika seorang tawanan
terbebaskan dia akan bisa keluar. Pintu itu cukup besar, namun jalan menuju
pintu tersebut menanjak dan curam. Pintu terletak jauh di atas dan terbuka
sepenuhnya ke cahaya dari luar. Sebagaimana Platon tidak menerangkan mengapa
mereka menjadi tawanan, dia juga tidak menerangkan mengapa ada satu tawanan
yang akhirnya terbebakan dari rantainya. Tawanan tersebut dikatakan bahwa ia
terbebaskan secara sumbainoi
(aksidental, terjadi begitu saja). Bila pembebasa tawanan terjadi begitu saja,
maka pada kisah selanjutnya, upaya sang tawanan untuk naik keluar goa bukan
kebetulan, juga sengaja (kemauan sendiri), melainkan sebuah “paksaan” (A. Setyo
Wibowo, 2017: 113-114).
Ada dua momen menarik untuk
dicermati: pertama, proses paidea (Pendidikan)
awalnya adalah sebuah kebetulan belaka, namun kebetulan yang disertai
pengorbanan dari si tawanan. Saat seorang tawanan terbebaskan mulai menengok,
melihat cahaya api dan benda-benda sumber pantulan, dia merasakan sakit di mata
(baca: silau). Kedua, begitu momen awal terlampaui, ketika proses paidea berlanjut, ia akan naik lagi
(karena dipaksa) meniti jalan curam menuju pintu keluar. Di sini, dimensi
pengorbanan menjadi lebih nyata karena karena Platon mengambarkan sebagai
“paksaan”. Sama halnya dengan, orang-orang yang dipaksa untuk bersekolah. Jika
mengikuti keinginan sendiri, maka kemungkinan untuk tidak terjun dalam dunia
Pendidikan sangat mungkin terjadi. Akhirnya, proses naik sang tawanan keluar
goa berakhir pada penglihatan matahari, sebagai sumber segala sesuatu yang ada
di luar goa dan simbol kebaikan, pengetahuan benar dan sejati (bdk. A. Setyo
Wibowo, 2017: 115-116).
Dari Kegelapan Menuju ke Arah yang Terang
Alegori
Goa Platon mengandung banyak tafsiran, tergantung dari sudut mana kita
melihatnya. Menurut Platon, para tawanan yang duduk manis dalam kegelapan,
sambil menikmati bayang-bayang sebagai wujud realitas, adalah kondisi manusia
yang tidak terdidik. Mereka selamanya menganggap bayang-bayang itulah kenyataan
sebenar-benarnya. Tanpa mengetahui lebih jauh bahwa realitas yang otentik ada
di luar goa. Penulis menafsirkan kondisi ini sangat gamblang menunjukan orang-orang
yang tidak mencicipi dunia Pendidikan, sehingga memiliki pengetahuan yang
miskin (baca:sedikit), serta terlalu cepat menyimpulkan sesuatu sebagai yang
benar, tanpa melihat lebih jauh wujud asli kebenaran itu. Sesuatu yang mereka
lihat itulah realitas, tanpa menggali kebenaran yang lebih dalam.
Selanjutnya,
ketika seorang tawanan keluar menuju pintu, ia tentu melewati jalan curam dan
terjal. Hal ini menunjukan bahwa proses paidea
(Pendidikan) tidak seperti jalan tol, tetapi penuh lika -liku atau
tantangan yang bercabang. Usaha sang tawanan keluar dari kegelapan patut
diacung jempol, penulis menafsirkan bahwa kita semua, khususnya mereka yang
belum mencicipi dunia Pendidikan, harus berani keluar menuju arah yang terang:
keluar dari zona nyaman, keluar dari pemahaman primitif, keluar dari sikap
fanatik, keluar dari daerah kemalasan, keluar dari kebiasaan buruk, dst menuju
cahaya terang: benar dan sejati. Jika, usaha menuju ke luar itu tersendat, yang
disebabkan oleh ketidakmauan pribadi untuk sekolah dan merubah diri, Platon
menganjurkan paksaan sebagai jalan keluar. Dengan paksaan dari orang tua,
lingkungan, atau siapa saja terhadap mereka yang tidak ingin mencicipi dunia
pendikan, alhasil mereka akan menyadari dan merubah cara pandang primitif itu.
Akhirnya,
ketika seorang tawanan tiba di luar goa, dia akan menemukan begitu banyak
realitas yang lebih dari pada hanya bayang-bayang di dasar goa. Dia juga akan
melihat matahari, simbol kebaikan, pengetahuan benar dan sejati. Semua
penglihatan itu merubah pemahaman sang tawanan sebelumnya yang sangat miskin
dan menambah wawasannya. Dengan mencicipi Pendidikan, sekurang-kurangnya pernah
bersekolah, kita akan seperti sang tawanan, yaitu melihat matahari sebagai
gambaran kebaikan dan pengetahuan yang benar dan sejati. Oleh karena itu,
pembaca yang budiman silahkan memilih: duduk manis seperti tawanan di dasar goa
atau mengikuti sang tawanan yang berani keluar menuju goa? Selamat memilih! Jika
bingung, baca kembali Alegori Goa Platon. Baca!
0 Comments:
Post a Comment