Mengobati Luka-Luka Ibu Pertiwi
(Memperingati
Hari Kartini setelah Pesta Demokrasi)
Oleh
Nando
Sengkang
(Mahasiswa
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara-Jakarta)
Pesta
demokrasi, 17 April 2019, sudah usai. Kini, Ibu Pertiwi sepertinya bisa tidur nyenyak
setelah sekian lama dipusingkan oleh tingka laku anak-anaknya, yaitu para calon
legislatif dan calon capres-cawapres, yang brutal demi merebut harta warisan: kursi kekuasaan. Sebelum
tanggal 17 April, kelakuan anak-anaknya sungguh keterlaluan; mereka saling
“berperang” demi mendapat harta warisan,
ugal-ugalan mandi hujan hoax, main
“petak umpet”, mengumpet kebenaran, dan bermain “sepak bola” dengan strategi “Coach Machiaveli”: bermain buruk dan
brutal, mencedrai lawan, mencetak gol, dan meraih kemenangan; dengan
menghalalkan segala cara, mereka mencapai satu tujuan, yaitu menang! Menang di
atas para lawan yang cedra. Seperti itulah kelakuan anak-anak, yaitu para
caleg, yang mungkin belum dewasa dan masih nakal. Harap maklumi!
Setelah
tanggal 17 April, suasana kembali tenang. Ibu Pertiwi bisa tidur nyenyak.
Namun, secara mengejutkan, Ibu Pertiwi terbangun oleh suatu berita yang melukai
hatinya. Berita itu bukan ditiup angin hoax,
melainkan berita yang faktual. Berita itu ialah kenakalan anak-anaknya kambuh;
mereka tidak mau mengakui A, B, atau C sebagai pemenang, mereka tidak mau
mengalah, keras kepala, tidak mau berlapang dada, bersikap rendah hati, serta
meniru gaya barat: menerima kekalahan dan mengakui kemenangan lawan. Ironisnya,
mereka “berperang” lagi, lebih sengit, ugal-ugalan mandi hujan hoax, dan menyangkal dan menyembunyikan
kebenaran yang ada. Singkatnya, mereka tidak menerima kekalahan, melainkan
menyangkalnya sebagai berita palsu, bahkan mendeklarasikan kemenangannya
sendiri dan meneror masyarakat dengan opini palsu. Sikap aneh ini akibatnya
sangat luas, masyarakat diterpa bencana
alam baru, yakni kebingungan. Saya mengutip pernyataan seseorang di warung
kopi, seperti komentator bola, “Apes…apes…tim A mengklaim sebagai pemenang,
tim B juga; tim C mengklaim hasilnya seri, tim D mengakui terjadi kecurangan
sehingga kalah; para supporter saling serang karena kecewa dengan hasil yang
ada, dan wasit sudah duduk minum kopi karena pertandingan sudah usai, lantas
mana yang benar? Siapa yang menang? Siapa yang kalah?” itulah suara masyarakat
setelah pesta demokrasi!
Luka-Luka Ibu Pertiwi
Ibu
Pertiwi dilanda kebingungan, anak-anaknya masih terus merebut harta warisan, melukai saudaranya, dan
menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan. Kelakuan aneh ini menambah luka
Ibu Pertiwi. Sebelum pesta demokrasi, Ibu Pertiwi mengalami pelbagai bencana:
Tsunami yang menelan anak-anaknya, gempa bumi yang memporak-porandakan
rumahnya, tanah longsong yang mengubur anaknya hidup-hidup, banjir bandang yang
menyeret segala kepunyaannya, dan sebagainya. Selain itu, Ibu Pertiwi jatuh
sakit akibat diserang virus KKN: korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta virus hoax yang masih menggrogotinya. Setelah
pesta demokrasi, kelakuan anak-anaknya yang semakin aneh memperparah luka-luka
itu. Mereka berubah menjadi pencuri kebenaran, motivator hoax, dan Serigala yang menerkam dan membunuh yang lain. Dengan
demikian, kelakuan yang bobrok itu menjadi pedang yang menghunus secara pelahan
ke dalam hati Ibu Pertiwi.
` Kenyataan lain terjadi. Selain
anak-anak yang merebut kursi kekuasaan sebagai harta warisan, terdapat juga anak-anak yang baik, soleh, jujur,
rajin berdoa, dan sebagainya. Mereka adalah kaum agamawan. Awalnya, mereka
menjadi anak yang amat baik dan menjadi kegembiraan tersendiri bagi Ibu
Pertiwi, namun akhir-akhir ini kelakuan mereka tidak jauh, bahkan mereka adalah
penyebab kebisingan yang ada. Dalam Kitab Suci Nasrani, mereka disebut
orang-orang Farisi atau kaum munafik; kemunafikannya bersembunyi di balik jubah-jubah
yang sangat indah. Di balik jubah itu, ternyata mereka memakai jubah berwarna
merah, yaitu uang. Uang telah membeli kebaikan, ketulusan, dan kesucian mereka;
uang juga telah membeli Tuhan mereka, sehingga dengan uang, mereka mulai
menghasut jemaatnya dengan kothbah-kotbah yang menggoda, menyebar hoax, melantunkan ayat-ayat suci, berdoa
bersama, dan sebagainya. semua itu adalah demi mweujudkan seseorang yang
menyuapi dan memberi jubah merah itu.
Munafik!
Mengobati Luka-Luka Ibu Pertiwi
Ibu
Pertiwi patut bersyukur karena memiliki anak yang lain, yaitu mereka yang
tampilannya biasa-biasa saja, tak banyak bicara, dan sebagai kaum minoritas.
Mereka nampaknya seperti “orang-orang biasa”, namun memiliki mimpi yang sungguh
mulia, yakni merawat Bineka Tunggal Ika, serta menyembuhkan luka-luka ibunya.
Mereka memiliki sikap yang tenang, tidak terseret arus kebingungan yang ada.
Mereka juga selalu kritis sebelum menelan suatu informasi, melindungi diri
dengan memakai payung persatuan dalam hujan hoax,
dan terus menggelorakan “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh!” Seruan itu
merupakan alarm bagi saudara-saudara yang lainnya, termasuk para pembaca, untuk
bagun dari sikap apatis, egois, dan intoleran yang memecah belah persatuan
bangsa. Dengan demikian, kita semua sebagai anak-anak Ibu Pertiwi kiranya
mempunyai sikap yang sama, yaitu tenang, kritis, dan terus menggelorakan
“Bineka Tunggal Ika” dan merawat ideologi Pancasila. Dengan sikap sederhana
itu, tanpa kita sadari, kita sudah mengobati luka-luka ibu pertiwi.
Ibu Pertiwi dan Ibu Kartini
Selain
para “Pencinta Persatuan” yang mempunyai satu tujuan: merawat spirit Bineka
Tunggal Ika dan ideologi Pancasila, Ibu Pertiwi patut bersyukur karena memiliki
seorang putri jelita yang mencintai persatuan, R.A. Kartini. Kartini merupakan
putri keturunan bangsawan yang mempunyai kepedulian yang besar pada zamannya.
Melalui buah pikirannya yang njlimet,
dia menyuarakan persaman gender antara laki-laki dan perempuan; laki-laki dan
perempuan adalah sama-sama manusia, sehingga perempuan tidak hanya berada di ruang
sempit, yaitu dapur-sumur-kasur, melainkan bisa berada di ruan publik. Melalui
pikiran inovatif tersebut, realitas antara laki-laki dan perempuan berjalan di
garis horizontal, walaupun beberapa tempat yang masih berjalan dalam garis
vertikal. Dengan demikian, lirik lagu “Wahai ibu
kita kartini puteri yang mulia, sungguh besar cita–citanya bagi Indonesia”
merupakan penghargaan yang mulia bagi jasanya. Lantas, apakah pembaca bisa
menjadi Katini zaman now? Semoga!
0 Comments:
Post a Comment