Quo Vadis Keadilan: Keuntungan Kaum Kuat atau Kaum Lemah?


Quo Vadis Keadilan: Keuntungan Kaum Kuat atau Kaum Lemah?
Oleh
Nando Sengkang
(Mahasiswa STF Driyarkara-Jakarta)

Apa itu keadilan? Pertanyaan ini muncul dalam rasio penulis ketika pertama kali mengajar anak-anak jalanan di daerah Manggarai, Jakarta. Penulis terkejut ketika melihat tempat tinggal para anak jalanan yang (maaf) sudah tidak layak untuk dihuni. Mayoritas pekerjaan orang tua mereka ialah pemulung dan penjual barang rongsokan di sisi trotoar. Suatu ketika, penulis bertanya kepada seorang pemuda, “Mengapa tinggal di tempat seperti ini mas? Kan sudah tidak layak untuk dihuni? Apa nggak ada tempat lain?” pemuda tersebut pun menjawab, “Ya mau gimana lagi bang, kami hanya menerima saja nasib seperti ini, kami merasa sebagai korban ketidakadilan bangsa korup ini”. Jawaban pemuda tersebut terekam dalam ingatan penulis, menjadi bahan refleksi, serta memantik penulis untuk mencoba meneropong masalah bangsa ini, salah satunya ialah ketidakadilan dari kaum lemah atau kaum tersisih. Menurut hemat penulis, kaum tersisih adalah para pengemis keadilan; mereka terus berteriak, protes, dan meminta-minta keadilan kepada si gendut yang hobinya tidur. Ironisnya, usaha ngamen tersebut ibarat teriakan seorang musafir di padang gurun, sunyi dan tanpa jawaban! Lalu lenyap di telan waktu.
Diskursus mengenai keadilan rasanya membosankan! Penulis sudah bayak menonton acara di Televisi yang membahas topik yang sama, juga pelbagai majalah, dan koran-koran lokal, serta media sosial tak ketinggalan meramaikan diskusi tersebut, semuanya bertanya-tanya dan mencari jawaban apa itu keadilan? Dimanakah keadilan itu? Apakah sesuatu yang tersembunyi (lethe)? Dan sebagainya. Rasanya, semua kegiatan tersebut hanya “buang-buang” waktu saja, faktanya, sebelum pertanyaan di atas terjawab, jawaban yang ditemukan berbeda dengan yang ditanyakan dan diharapkan, yakni ketidakadilan semakin membengkak, Aletheia: selalu menampakan diri. melalui paket sederhana, yaitu tulisan ini, penulis mencoba menjawab pertanyaan yang menjadi pencarian kolektif. Selanjutnya, melalui tulisan ini, pertama, penulis menampilkan makna keadilan menurut pemikir Yunani kuno, yang sebenarnya, menurut penulis, bisa menjadi bahan kritik terhadap realitas sosial bangsa Indonesia. Kedua, karena penulis memposisikan sebagai pengamen keadilan (kaum lemah), penulis melihat kaum lemah selalu tunduk pada kaum kuat (penguasa), sehingga tidak berani melawan, hanya menerima saja! Mentalitas seperti ini, menurut penulis, (maaf) adalah mentalitas kerbau dicocok hidung. Oleh karena itu, tulisan ini bisa dijadikan suatu alat potong (gunting, dst) untuk memutuskan tali dari ego si tuan terhadap kerbau. Ketiga, penulis mencoba menawarkan solusi sederhana dalam mengatasi ketidakadilan dengan bercermin pada seruan Bung Karno.  Akhirnya, tulisan ini tidak mempersuasi pembaca untuk mewujudkan keadilan sendiri, melainkan suatu tampilan dari teropong penulis akan realitas sosial bangsa ini, sehingga bisa dijadikan refleksi bersama demi mewujudkan keadilan yang diimpikan. Jika dalam keadaan mendesak, tulisan ini memberi jawaban bagi kaum kecil dalam mencari dan menciptakan keadilan yang dinantikan. Semoga!
 Keadilan: Keuntungan Kaum Kuat
            Penulis meminjam kaca mata Thrasymakhos, seorang pemikir klasik Yunani Kuno, yang memandang jernih akan realitas sosial. Thrasymakhos berpandangan bahwa asal-usul keadilan adalah kekuasaan, apa pun jenisnya. Esensi keadilan adalah apa yang secara positif dinyatakan sebagai hukum. Thrasymakhos menolak bahwa di luar itu ada jenis keadilan lain! Posisinya sangat tajam: adil adalah apa yang diputuskan oleh otoritas kekuasaan, dan tidak ada lainnya lagi. Soal keadilan baginya hanyalah “apa yang dinyatakan secara positif sebagai hukum” dan sejauh dibuat oleh para pemimpin yang adalah orang-orang yang lebih kuat, entah karena harta kekayaan atau posisi sosial, maka dengan sendirinya hukum yang mereka keluarkan adalah yang menguntungkan mereka sendiri. Dengan demikian, jika para pemimpin atau mereka yang lebih kuat mengeluarkan hukum, maka apa yang adil (keadilan) dengan sendirinya apa yang sesuai dengan hukum yang dihayati itu dan dibuat dengan mengakomodasi kepentingan mereka yang membuatnya (A. Setyo Wibowo, 2017)
Kaca mata Thrasymakhos sangat jernih melihat realitas sosial bangsanya. Menurut penulis, pisau analisisnya dapat menjadi acuan untuk mengupas (mengkritisi) esensi keadilan bangsa ini. Sepertinya keadilan bangsa Indonesia berada di tangan mereka yang terkuat, dalam genggaman kaum kuat ini terdapat keadilan, sehingga keadilan dirasakan oleh mereka sendiri. Thrasymakhos telah menampilkan fakta realitas sosial terhadap kebobrokan bangsanya, namun fakta di atas tepat mengenai jantung Ibu Pertiwi. Dengan demikian, menurut penulis, keadilan zaman now senada dengan kaca mata Thrasymakhos, yakni keadilan berada dalam gengaman kaum kuat, salah satunya kaum oligarki.
Keadilan: Keuntungan Kaum Lemah
Apakah keadilan selamanya berada di tangan kaum kuat? Apakah keadilan bisa menjadi keuntungan kaum lemah? Kaum tersisish? Apakah dalam benak Anda masih tersimpan memori Mei 1998? Pertanyaan ini sebenarnya tidak perlu ditampilkan karena kita semua tentu mengetahui peristiwa tersebut (1998). Namun, penulis hanya merefresh memori pembaca untuk melawan lupa. Lantas apa yang menjadi kekhasan peristiwa tersebut? Sesuai dengan topik, menurut hemat penulis, peristiwa runtuhnya Orde Baru (1998), membuktikan orang-orang lemah, orang kecil, orang “tuli-buta-lumpuh”, bersatu melawan kaum yang kuat, yaitu kemahakuasaan Soeharto. Kaum-kaum yang dipandang kecil, lemah, dan berada di bawah bayang-bayang penguasa (pada masa itu), bersatu dan melahirkan cahaya perubahan demi mewujudkan keadilan bersama. Peristiwa tersebut sangat gamblang menunjukan bahwa kaum lemah dapat menciptakan keadilan. Sedikit skeptis, peristiwa Mei 1998 hanya menampilkan kesuksesan kaum lemah pada masa itu, tetapi tidak bertahan sampai saat ini. Lantas seperti apa keadilan kaum lemah itu? Bagaimana kaum lemah dapat menciptakan keadilannya?
Adalah Glaukon, seorang pemikir Yunani kuno, menawarkan premis yang menarik: a) kebanyakan orang berpendapat bahwa “melakukan ketidakadilan adalah sesuatu yang baik, artinya menguntungkan diri kita” sementara “dikenai ketidakadilan adalah sesuatu yang buruk”. Dan orang berepndapat bahwa, b) “dikenai ketidakadilan” rasanya lebih menjengkelkan dibandingkan dengan “kebaikan yang dirasakna dari tindakan tidak adil yang dibuat”. Misalnya, mencuri mangga tanpa ketahuan rasanya nikmat. Namun, saat buah mangga milik kita, yang kita rawat hingga berbuah dicuri orang lain, kita merasa marah, dst . Oleh karena itu, c) ketika banyak orang sudah merasakan derita akibat ketidakadilan, mereka lalu bersepakat satu sama lain untuk melarang tindakan yang tidak adil. Orang-orang ini merasa perlu membuat persepakatan karena mereka sadar bahwa mereka adalah orang-orang yang lemah yang gampang menjadi korban ketidak adilan. Mereka sadar bahwa tidak selamanya dapat mencuri mangga orang lain. Mereka justru ingat bahwa mereka adalah orang-orang yang lemah, yang rentan menjadi korban ketidakadilan, sehingga harus bersatu padu untuk melindungi diri dari tindakan-tindakan tidak mengenakan. Persepakatan semacam itu, d) yang kemudian disebut sebagai hukum, dan apa yang diatur di dalam hukum lantas disebut sebagai “adil”. Dengan demikian, menurut Glaukon, hukum adalah kontrak yang dimunculkan kaum lemah sebagai akal-akalan untuk melindungi diri mereka dari tindakan tidak adil yang dilakukan orang yang lebih kuat (A. Setyo Wibowo, 2017)
Sebuah Tantangan: Mentalitas Tunduk Pada Penguasa
Argumentasi “canggih” Glaukon di atas tentu sangat sulit di terapkan dalam realitas kehidupan sosial. Menurut teropong penulis, realitas sosial menampilkan sifat/mental buruk individu, juga kolektif, yaitu selalu tunduk pada penguasa (kaum kuat). Mengapa hal ini sampai terjadi? Mengapa hidup dalam bayang-banyang penguasa? Jawaban sederhana karena, menurut penulis, mereka (penguasa) adalah orang-orang ‘kuat’ dalam segala hal, mereka bisa melakukan apa saja sesuai nafsu ragawi, mereka bisa menindas kaum lemah kapanpun dan dimanapun, singkatnya, mereka adalah everything. Uang menjadi senjata utama untuk menaklukan kaum lemah. Dengan uang mereka gampang mengunci mulut kaum lemah, mengatur kehidupan kaum lemah, singkatnya uang juga adalah everything. Dengan demikian, kaum lemah selalu tunduk pada penguasa (kaum kuat) dan berada dalam bayang-bayang mereka, senjata super canggih penguasa,yang adalah uang, menjadi singa yang menakut-nakuti si domba yang lemah!
Realitas di atas menjadi tantangan besar untuk mewujudkan keadilan yang sungguh-sungguh adil: tidak memihak siapa pun. Mentalitas ‘buruk’ tersebut sudah terpatri dalam jati diri kaum kecil, sehingga sangat susah untuk merubahnya. Namun, penjelasan berikut mengajak kita untuk bercermin atau belajar dari pendapat kedua tokoh di atas, khusunya Glaukon. Dengan demikian, kiranya interpretasi Glaukon dapat menjadi pembelajaran dan penggerak aksi bagi pembaca budiman.
Belajar dari Glaukon dan Sisipan Solusi
Jika kita masih skeptis: apakah benar kaum lemah dapat menciptakan hukum sebagai perwujudan sesuatu yang adil? Bercermin  pada Glaukon, sangat gamblang menjawab keraguan Anda, juga ditambah dengan memusnahkan mentalitas si kerbau dicocok hidung. Akan tetapi, jika dalam suatu bangsa kaum kuat menciptakan keadilannya sendiri dengan meraup keuntungan bagi kaum-kaumnya sendiri, dan di sisi lain, kaum lemah berusaha sedemikian rupa untuk menciptakan keadilannya sendiri, apakah hal itu tidak terjadi benturan maha dahsyat antara kepentingan kaum lemah dan kaum kuat? Jika kita sedikit memeras rasio kritis, tentu kita sepakat akan terjadi ledakan yang menghebohkan bangsa ini dan peristiwa Mei 1998 adalah cerminannya.
Lantas bagaimana cara agar tidak terjadi ledakan itu? Bagaimana kaum lemah benar-benar mewujudkan keadilannya? Atas dua pertanyaan ini, penulis masih memeras rasio kritis, namun dua pertanyaan ini dapat menjadi pancingan pembaca untuk sama-sama memikirkannya. Penulis hanya menawarkan suatu solusi sederhana bagi kaum lemah dengan meminjam pernyataan Bung Karno: “Kita tidak mempunyai angkatan perang, kita tidak mempunyai bordjuasi nasional, kita harus dan mutlak harus hanja bisa mempergunakan tenaga daripada rakjat djelata sebagai satu verzamelnaam jang saja namakan Marhaen. Dus, sedjak daripada mulanja atau lebih tegas sedjak fase revolusioner dari pada gerakan nasional kita, kita harus bisa memegang pandji persatuan. …Djadi alat kita hanjalah persatuan, dijakalau kita tidak berdiri di atas dasar ini, mungkin gerakan kita akan berhasil (Bung Karno, 26 Mei 1958)”, secara singkat, implementasi dari pernyataan Bung Karno ialah merawat gotong royong.
Senada dengan pernyataan Bung Karno, Glaukon juga menekankan persatuan; kaum lemah harus bersatu agar bisa menciptakan keadilannya sendiri. Namun, persatuan di sini tidak sama dengan persatuan kelas proletarSebagai penutup tulisan ini, penulis meminjam ungkapan Presiden Jokowi sebagai solusi tambahan, “Bila mendapat perlakuan tidak adil dari pihak manapun, segera laporkan”. Dengan demikian, sebuah pencarian akan keadilan sudah ditampilkan dalam tulisan sederhana ini, sekarang Anda silahkan memilih dan mewujudkan keadilan. Pilihan ada di tangan Anda, bukan dalam gengaman siapapun. Pilihan itu akan menjawab pertanyaan inti: quo vadis keadilan? Semoga!


0 Comments:

Post a Comment