gambar: https://pixabay.com/id/illustrations/seni-wajah-topeng-kepala-3-wajah-2174145/

Hidup Itu Perlu Tertawa
(Catatan Reflektif Kegiatan PSE Hari Pertama)
Oleh: Nando Sengkang, CICM

Mari kita mengawali ini dengan tanya-menanyai sesuatu….
Sebenarnya, kehidupan itu apa? Mengapa kita perlu menjalaninya?
Lebih jauh…apakah kehidupan itu perlu ditertawai?
Ataukah perlu ditekuni, digeluti, diperjuangkan mati-matian?
Atau bagaimanana…?
Atau seperti apa?
Sepenggal kisah sederhana ini akan sedikit menggelitik pertanyaan sederhana di atas.
           
Ibu kota. Namanya Jakarta.
Siapa yang tak tahu? Yang tak tahu adalah yang memang tidak tahu, juga tidak mau tahu. Atau tidak pernah tahu. Yang tahu adalah yang mengetahuinya.
Lantas, bagaimana modelnya ibu kota itu? Wajah ibu kota tentu sungguh cantik, eksotis, estetis, dan selalu eksis. Kecantikan itu terbukti dari hiasan bangunan-bangunan megah-nan mewah dengan teknologi mutakhir yang super canggih.  Wajah yang cantic itu menarik ribuan orang, baik dari desa yang ndeso, hingga orang luar yang asing. Mereka ramai-ramai datang menumpuk di ibu kota. Kedatangan itu bukan tanpa alasan, melainkan dengan alasan yang sungguh sederhana “mencari kehidupan yang lebih baik”
Alasan itu memang sederhana sekali. Itu berarti, kehidupan mereka sebelumnya, baik di desa maupun di daerah lain, masih minim, penuh kekurangan. Oleh karena itu, mereka perlu “bertamasya” ke kota untuk waktu yang lama. “Bertamasya” bukan untuk liburan, melainkan untuk bergulat dengan penuh perjuangan yang gigih, juga “gigi yang kuat dan perut yang kenyang”- kata Nietzsche. Dengan perjuangan yang gigih itu, mereka mulai mengadu nasib di ibu kota, yang katanya cantik dan eksotis itu. Ibarat serdadu Troya, mereka akan berlaga di medan tempur demi kemenagan yang jaya dan harga diri yang agung. Berjuang! Selain itu, mereka mengagunggkan satu visi yang ingin dicapai, yaitu sukses! Lantas hasilnya? Apakah perjuangan mereka membawa keberhasilan? Kesuksesan? Atau sebaliknya? Tentu, kita bisa menjawabnya sendiri.
Cerita berikut ini adalah sesuatu yang kontras dengan visi di atas. Rupanya, alih-alih meraih kesuksesan di Jakarta, mereka justru menggapai bulan yang memang tak kan pernah digapai. Visi itu hanyalah utopis belaka. Maksudnya, hanya mimpi yang hanyalah impian Bersama angan-angan yang menerawang, tak pernah terwujud!
Adalah eyang Hariyono, seorang pensiunan Bidan yang sudah berumur. Dia tinggal di rumah sempit, nan sederhana. Saya Bersama Fr. Remon, beserta ibu Erna perwakilan komunitas PSE-Salvator, Slipi, melakukan blusukan gaya penagih utang atau dept collector. Kedatangan kami di rumah kecil itu disambut dengan kehangatan seorang abdi dalem Kraton Yogyakarta. Kehangatan itu membuat kami merasa rileks ketika saling tukar-menukar cerita. Satu cerita yang menyentuh, yaitu eyang Hariyono mengawali rutinitas hariannya itu dengan merayakan Ekaristi. Katanya, dengan memohon tuntunan Tuhan, kegiatannya akan berjalan lurus dan mulus. Selain itu, dia menceritakan masa-masa pekerjaannya serta carut-marut hidupnya, khusunya masa-masa gelap. Masa gelap itu merupakan air mata kehidupannya. Air mata itu lama-kelamaan menjadi air mata terapis, yakni kembali mengobati kesedihannya. Seperti bumerang, awalnya air mata kesedihan, tetapi kembali menjadi kebahagiaan. Itu artinya, eyang selalu mengambil suatu pembelajaran dari suatu peristiwa; hingga akhirnya peristiwa itu dilaluinya dengan kegembiraan yang riang. Eyang menceritakan pengalamannya dengan wajah yang cerah dan nuansa humor yang segar, sehingga menggelitik perut dan menghasilkan ledakan tawa yang rileks. Di balik kesederhanaannya, rupanya eyang sempat mebuat orang Bahagia dengan cara sederhana, hanay menghibur saja. Dari pertemuan pertama ini, eyang memberikan pembelajaran sederhana bahwa hidup itu dimulai dengan rasa syukur kepada Tuhan, misalnya Ekaristi pagi hari. Selanjutnya, suka duka hidup itu harus dilalui dengan santai, tenang, dan sesekali tertawa. Jika mau, berkali-kali menertawai kesedihan kita agar kesedihan itu cepat berlalu.
            Dari Yogyakarta, kita berlabuh ke Timur, tepatnya Surabaya. Kami menjumpai satu keluarga kecil yang tinggal dalam kos-kosan yang kecil pula. Namanya, ibu Mega, asal Surabaya. Dia tinggal bersama suaminya yang pengangguran. Pengangguran bukan karena lepas tanggung jawab, namun, suatu cinta kesetiaan suami kepada isterinya. Kesetiaan macam apa? Ceritanya menarik, perlu suatu refleksi yang mendalam…
Isterinya, ibu Mega, terkena strok berat. Strok itulah yang menjadi musibah bagi keluarganya. Pertama, menyeret suaminya dari pekerjaanya, sehingga suaminya tidak bekerja sama sekali, kedua, menguras uang yang banyak, ketiga, adalah membebani puti tunggalnya menjadi tulang punggung keluarga. Putri semata wayang akhirnya menjadi tulang punggung yang begitu berat bagi keluarganya, sedangkan suaminya bertanggung jawab menjadi merpati yang sangat penuh setia kepada isteri tercinta.
Keluarga ini sangatlah unik, keunikan itu kata iman kita merupakan buah dari cara Tuhan yang tidak kita pahami. Dari musibah strok, seolah-olah mereka langsung menyalahkan Tuhan. Dari musibah pemutusan kerja suaminya,  seolah-olah mereka langsung menyalahkan Tuhan. Dari bukti putri tunggal yang memanggul salib keluarga, seolah-olah mereka langsung menyalahkan Tuhan. Tentu awalnya, mereka menyalahkan Tuhan atas semua keadaan itu. Mengapa begini, mengapa begitu…kejam!!!
Akan tetapi, itulah cara Tuhan yang tidak kita pahami. Cara itu adalah Tuhan menunjukan kepada kita, melalui keluarga ibu Mega, apa artinya kesetiaan bagi keluarga kita sendiri. Arti kesetiaan pertama dibuktikan oleh suami yang setiap saat menemani isterinya. Arti kesetiaan kedua, dibuktikan oleh kesetiaan seorang anak mengabdi kepada orangtuanya. Arti kesetiaan ketiga, mereka Bersatu padu sebagai satu kelurga, sama-sama memikul salib kehidup. Salib kehidupan keluarga ibu Mega sangatlah berat, akan tetapi, Ibu Mega memikulnya penuh suka cita. Kesukacitaan ini mengingatkan kita akan si Dia yang memikul beban dosa ke puncak kemenangan, tanda suatu kasih Allah yang tiada tara. Seperti itulah sukacita ibu Mega. Dia membagi sukacita itu dengan cerita-ceritanya yang menyentuh hati, juga membuat kami sangat terhibur. Sebenarnya, kedatanagan kami menghibur dirinya, justru sebaliknya, dialah yang menghibur kami agar selalu bersuka cita dalam menjalani hidup ini. Dengan kesetiaan sebagai satu keluarga, mereka menyulap kesedihan atau kemalangan keluarga mereka sendiri, menjadi teater baru yang mempertontonkan makna kesetiaan.
            Kisah sederhana di atas adalah gambara dari wajah Jakarta yang lain. Di balik keindahan Gedung-gedung menuju surge, serta gemerlap cahaya lampu, Jakarta menyembunyikan kejelekannya. Bersama komunitas PSE, perlahan-lahan tabir kejelekan itu tersingkap, sehingga semua mata memandang keburukan itu, dan semua tanggan bergotongroyong mengobati nya, dan semua Pundak sama-sama memikul beban yang ada,  menuju keringanan kesejahteraan.
Oleh karena itu, kiranya dua kaum tersisih di atas, sedikit menjawab pertanyaan kita pada awal cerita ini. Selamat menikmati hidup dalam terang kasih Allah, dan sarapan Ekaristi pagi!

*Nando Sengkang:
Mahasiwa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan Anggota tarekat CICM

             







Makna Ekaristi dalam “Kaca Mata” Kaum Muda
Oleh
Nando Sengkang
(Mahasiswa STF Driyarkara-Jakarta)
A.    Pengantar
Sabtu sore, ketika romo Ritan akan berangkat ke salah satu stasi paroki untuk melayani umatnya, dia dicegat oleh seorang anak muda dengan nafas ngos-ngosan, nampaknya buru-buru, datang meminta bantuannya. Anak muda itu akan memimpin ibadah di stasinya, namun ia tidak tahu urutan ibadah dan juga masih bingung dalam menafsirkan bacaan Kitab Suci sebagai santapan saat berkhotbah. Oleh karena itu, dia datang meminta romo parokinya untuk meluruskan kebingungan itu. Romo Ritan kagum dengan sikap anak muda itu, menurutnya juga, baru pertama seorang anak muda datang kepadanya dengan maksud melayani Tuhan di lingkungannya. Akhirnya, romo Ritan langsung melayani anak muda itu dengan nuansa kegembiraan, juga decak kagum.
Cerita singkat di atas juga membuat saya kagum dengan sikap anak muda itu, seraya memantik pertanyaan dalam diri saya, selain tentang ibadah, dapatkah kaum muda berbicara tentang sesuatu yang sakral dalam hidup gerejawi, khusunya Ekaristi? Setahu saya, Ekaristi itu hanya dibicarakan oleh kaum-kaum berjubah, kaum awam seperti haram hukumnya untuk membicarakan hal itu. Akan tetapi, saya memberanikan diri untuk menggali pemahaman umat beriman, khusunya kaum muda tentang Ekaristi. Proses penggalian itu, dengan metode pustaka dan wawancara, saya tuangkan dalam paper ini. Paper ini akan mengupas secara sederhana makna Ekaristi dalam “kacama mata” atau pemahaman kaum muda. Selain itu, akan dilanjutkan dengan unek-unek “bebas” kaum muda tentang persiapan Ekaristi Hari Minggu; dan paper ini akan ditutup dengan hasil refleksi saya terhadap situasi perayaan Ekaristi zaman now. Dengan demikian, paper ini, saya analogikan seperti mikrofon bagi kaum muda untuk bebas berbicara tentang Ekaristi, selain itu paper ini seperti taman-taman kota atau kafe tempat kaum muda bebas berekspresi. Selamat menikmati!
B.     Selayang Pandang Makna Ekaristi
Sebelum kita melangkah lebih jauh untuk melihat makna Ekaristi dalam kaca mata kaum muda, terlebih dahulu kita melihat makna Ekaristi dalam tinjauan pustaka. Bercermin pada perspektif Jacobus Tarigan, Ekaristi berasal dari kata Yunani “eukharizen” yang berarti mengagumi, bersyukur, berterima kasih. Nama-nama lain untuk Ekaristi ialah Perjamuan Tuhan, Perjamuan Malam, Kurban Kudus, Sakramen Mahakudus, Misa, Pemecahan Roti, Kenangan, Komuni, Liturgi yang Kudus dan Ilahi.[1] Hari Kustono menambahkan Ekaristi sebagai pusat dan puncak kehidupan Gereja mempunyai latar belakang yang kuat dalam PL, khusunya tradisi Yahudi (bangsa Israel) sekitar Paskah. Kenangan akan pembebasan bangsa Israel dari perbudakan Mesir dirayakan setiap tahun pada hari raya Paskah yang jatuh pada musim semi tanggal 14 bulan Nisan (sekitar Maret-April).[2] Pada zaman Yesus, hari raya Paskah (Ibr: pesah) digabungkan dengan hari raya Roti Tak Beragi (Ibr: Massoth). Selain itu, perjamuan malam terakhir (Kamis Putih) merupakan latar belakang dari perayaan Ekaristi hingga dewasa ini. Sacrosanctum Concilium (SC) no. 74 melengkapi bahwa pada perjamuan terakhir, Penyelamat kita mengadakan Korban Ekaristi Tubuh dan Darah-Nya. Dengan demikian, Ia mempercayakan kepada Gereja mempelai-Nya yang terkasih untuk mengenangkan peristiwa wafat dan kebangkitan-Nya.[3]
Selain itu, dalam Kitab Hukum Kanonik Kan. 900 menegaskan pelayan, yang selaku pribadi Kristus dapat melaksanakan sakramen Ekaristi, hanyalah imam yang ditahbiskan secara sah. Kan. 898 juga menghimbau agar umat beriman berepartisipasi aktif dalam ritus Ekaristi. Oleh karena itu, Kan. 899, perayaan Ekaristi hendaknya diatur sedemikian rupa agar semua yang ikutserta memetik hasil yang berlimpah.[4] SC no. 48 juga menghimbau agar umat beriman harus berpartisipasi aktif dalam Ekaristi, sehingga nampak hidup dan meriah.[5] Jacobus Tarigan mengamini: perayaan Ekaristi Hari Minggu sebaiknya diikuti oleh semua umat, baik orang dewasa maupun anak-anak. [6] Anak-anak jangan diabaikan, mereka ibarat burung kecil yang ingin terbang dan bernyanyi di alam bebas.
C.    Kaum Muda Berbicara Tentang Ekaristi
Ribuan anak muda sering kita jumpai, baik di mal-mal, taman kota dan kafe-kafe. Tak ketinggalan juga, Gereja dihiasi oleh pelbagai anak muda yang terlibat dalam OMK, BIA, BIR, atau kegiatan lainnya. Walaupun jumlahnya jauh tertinggal dan bisa dihidung jari, namun anak-anak muda di Gereja-Gereja tetap meramaikan suasana Gerejanya masing-masing, seperti tablo Jumat Agung di setiap paroki KAJ disimulasikan oleh anak-anak muda. Melalui tablo, mereka dapat “berbicara” di lingkungan Gereja. Selain tablo, kita jarang menemukan anak-anak muda berbicara tentang Ekaristi. Ekaristi sering dibicarakan oleh kaum-kaum berjubah, katanya merekalah yang lebih pantas. Namun, paper yang sedang Anda baca ini merupakan mikrofon bagi anak muda untuk mengeluarkan unek-unek mereka tentang makna Ekaristi. Melalui metode wawancara, saya menuangkan unek-unek itu.
Erna Sengkang memaknai Ekaristi sebagai rahmat pemurnian atas dirinya yang masih diselimuti lumpur dosa. Dengan mengikuti Ekaristi, dia mencuci lumpur itu, sehingga ia bisa bersih dan terlahir kembali menjadi pribadi yang baru. Senada dengan Lia, Ekaristi sebagai penguatan dan peneguhan dalam dirinya. Kekuatan itu menjadikannya sebagai wanita yang tetap kuat dan kokoh dalam badai cobaan. Selain itu, keempat responden lainnya, Jeanette, Dinda, Theresya, dan Tasya Hermanpelankahu, sama-sama memaknai Ekaristi sebagai kenangan akan misteri wafat dan kebangkitan Yesus Kristus. Melania menambahkan Ekaristi sebagai upacara kasih Allah kepada umat-Nya; Dinda menambahkan Ekaristi itu menyatukan ikatan cinta dalam satu Tubuh, yaitu Kristus. Kedua responden terakhir, T. Halima dan Nadine, melengkapi dengan jawaban sederhana, Ekaristi sebagai waktu khusus untuk Tuhan dan kesempatan untuk bertemu dengan-Nya melalui imitation Christi (imam).
            KHK kan. 897, ibarat merangkum jawaban para responden, yakni kurban Ekaristi, kenangan wafat serta kebangkitan Tuhan Yesus adalah puncak seluruh ibadat dan kehidupan Kristiani, serta sumber yang menandakan dan menghasilkan kesatuan umat Allah dalam Tubuh Kristus.[7]A. Lukasik menambahkan berkat kehadiran Kristus dalam Ekaristi, berkat tubuh-Nya yang disantap, kita sendiri menjadi Tubuh Kristus, mengikat diri dengan-Nya dalam hubungan cintakasih serta persahabatan. Inilah fundamen kekristenan yang membentuk hidup Kristiani yang tulen. Dengan demikian, dengan menghayati Ekaristi semestinya, bisa menjadi bagi kita sekolah hidup Kristiani, sekolah kesucian.[8]
D.    Unek-Unek Kaum Muda Tentang Ekaristi Hari Minggu
Bagian ini sedikit bebas menyuarakan suara atau unek-unek kaum muda tentang Ekaristi Hari Minggu. Bagian ini ibarat kafe dan taman kota yang menjadi tempat mereka bebas mengeluarkan apa yang ada dalam pikirannya. Kembali dengan metode wawancara, saya menggali kegiatan mereka dari persiapan sebelum mengikuti Ekaristi hingga langkah konkret serta manfaat yang dirasakan dari perayaan Ekaristi.
Persiapan sebelum mengikuti Ekaristi Hari Minggu, semua responden senada menyiapkan diri dengan sebaiknya, seperti berpakain rapih dan bersih agar memuji Tuhan dengan layak. Erna Sengkang menambahkan, dia menjaga emosinya tetap dingin, walaupun ada sedikit kejadian yang memanaskan hatinya, sehingga hatinya tenang dan damai saat mengikuti Ekaristi. Nadine menambahkan dengan menjaga mood dengan baik, sehingag tetap tenang dan fokus. Tasya Hermanpelankahu melengkapi dengan membaca Alkitab dan berpuasa 1 jam sebelum Ekaristi. Pelbagai jawaban responden senada dengan penegasan Jacobus Tarigan, yakni pakaian memperlihatkan sikap hormat, sikap menghargai, dan mengungkapkan suasana batin ketika merayakan Ekaristi. Pakaian yang pantas mendukung keindahan liturgi. Dengan demikian, kenakanlah pakaian yang pantas dan hormat.[9]
Selanjutnya mengenai perasaan, saat, dan sesudah mengikuti Ekaristi. Sebelum mengikuti Ekaristi, para responden merasakan sesuatu yang kurang dalam diri mereka, titik kebahagian dalam lubuk hati mereka belum tersentuh; kadang merasa biasa-biasa saja, malas-malasan, dan kadang merasa cemas. Melania menambahkan, sebagai anak kos dia jarang berdoa selama 6 hari, sehingga muncul suatu kerinduan yang mendalam akan kasih Tuhan. Nah, kerinduannya terpenuhi ketika mengikuti Ekaristi. Selanjutnya mengenai perasaan pada saat dan sesudah Ekaristi, para responden merasakan sesuatu hal yang luar biasa telah terjadi, sulit dirangkai dengan kata-kata, dan titik kebahagiaan dalam lubuk hatinya sudah terpuaskan. Ambil contoh, T. Halima sangat bahagia karena ia percaya kegiatan selama sepekan akan diselimuti oleh rahmat Tuhan, Roh Kudus akan selalu menemaninya; kebahagiaan itu dilengkapi oleh ungkapan Erna Sengkang bahwa ia menjadi pribadi yang baru. Jacobus Tarigan melengkapi, Ekaristi mengembangkan spiritualitas, yang adalah kehidupan berdasarkan kekuatan Roh Kudus yang memberi kita anugrah: persatuan, hidup abadi, kemerdekaan iman, cinta kasih, kegembiraan dan ketenangan.[10]
Unek-unek yang terakhir mengenai tindakan konkret dan manfaat yang dirasakan dari rahmat Ekaristi. Mengutip Nadine, ia melakukan sesuatu yang tak terduga, yakni berdamai dengan dirinya sendiri dan keluarganya, serta menulis homili yang menyentuh hatinya sebagai bahan refleksi selama sepekan. Selanjutnya, semua responden merasakan manfaat yang luar biasa dari Ekaristi, mengutip Erna Sengkang, Jeanette, dan Melania, manfaat Ekaristi ibarat vitamin yang menjadi energi sebagai sumber kekuatan baru. Tasya dan Dinda menambahkan manfaatnya ibarat alarm yang mengingatkan mereka selalu akan kasih Tuhan yang sungguh mencintai mereka. Nadine menutupi bagian ini dengan jawaban jujur, yakni agar bisa bermesraan dengan Tuhan; seperti istilah Keating: menuju keintiman bersama Tuhan.[11] Dengan demikian, tak perlu wacana panjang lebar, Ekaristi sangat bermanfaat bagi kita. Manfaat itu tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata yang eksplisit; saya hanya bisa menganalogikannya dengan kata “ibarat”. Manfaat Ekaristi jauh melampaui pikiran kita yang minim. Itulah rahasia Yang Ilahi!
E.     Penutup: Refleksi Atas Situasi Perayaan Ekaristi Zaman Now
Sebagai penutup, saya tidak merangkum jawaban para responden karena, pada hemat saya, jawaban itu senada dengan suara penghayatan kita masing-masing. Namun, saya mencoba menuangkan sedikit refleksi atas situasi perayaan Ekaristi era modern ini. Pertama, saya sangat kagum dengan partisipasi umat beriman di ibu kota yang beramai-ramai memenuhi gereja utuk bersyukur kepada Tuhan. Lihat saja, jadwal misa di ibu kota sampai 6 kali. Hal ini menandakan, antusias umat beriman dalam menimba rahmat Tuhan patut diacung jempol, selain itu dalam berderma, umat sekalian, memberikan rejekinya dengan nominal yang cukup tinggi. Seksi-seksi yang lumayan banyak juga ikut membantu perkembangan paroki setempat. Realitas ini, jauh berbeda dengan sitausi di kampung halaman saya, Manggarai. Walaupun mayoritas Katolik, umat sekalian mulai merasa asing terhadap kehidupan Gereja. Juga sumbangan kepada pembangunan gereja masih minim. Hemat saya, alasan ekonomis tidak menjadi masalah. Sebaiknya, ketika mendapat rejeki, alangkah baiknya disisipkan sedikit untuk pembangunan gereja. Selain itu, seksi-seksi juga masih sedikit, seperti hanya legio Maria, OMK, dan BIA; BIA di setiap lingkungan  tidak ada. Sepi! Kehidupan gerejawi di ibu kota, sejauh ini, sangat baik!
Akan tetapi, kedua, arus modernisasi berupa sekularisasi menjadi bencana alam bagi kehidupan Gereja. Dunia religius dalam pancaran terang agama dan Gereja ibarat dunia takhayul. Mengutip Karl Marx juga dunia yang penuh janji-janji palsu, tanpa “mengigit” realitas; hanya sebatas janji-janji yang cantik dan ciamik tanpa mengubah kehidupan kaum lemah. Masyarakat modern, khusunya kaum muda, tenggelam dalam lautan duniawi. Kaum muda sibuk mengarungi lautan duniawi, katanya, mencari harta karun dunia, yaitu kebahagiaan instan yang memuaskan dirinya; namun, tak terasa mereka tenggelam dan terseret arus duniawi (modernisasi). Hal ini nampak dalam kehidupan gerejawi, kaum muda yang terlibat dalam OMK dapat dihitung jari; juga yang memberanikan diri ikut panggilan Tuhan menjadi imam atau kaum religius hanyalah orang-orang muda yang dianggap sinting dan bodoh. Kehadiran kaum muda ibarat bayang-bayang saja dalam kehidupan menggereja, diri rilnya terlihat dalam realitas duniawi.
Selain itu, ketiga, Gereja ibarat mal yang memuaskan kebahagiaan pribadi. Banyak umat yang terlibat hanya numpang eksis atau menujukan kekayaan pribadi. Tanpa melihat lebih jauh relasinya dengan Yang Ilahi. Ketika merayakan Ekaristi hanya untuk menyenangkan diri, ketika romo berhomili dengan nada slow muali mengkritik; selain itu, berpakaian juga ibarat jalan-jalan ke mal. Secara sederhana saya gambarkan: situasi perayaan Ekaristi zaman now hanya untuk menyenangkan diri sendiri, namun lupa akan makna Ekaristi sesungguhnya. Oleh karena itu, tulisan sederhana dalam paper ini, selain memancing anak muda, juga menyadarkan kita semua akan pentingnya Ekaristi Hari Minggu, juga hari biasa, sebagai sesuatu yang sakral, suci, dan indah. Selamat berefleksi!  

Daftar Pustaka
Dokumen Konsili Vatikan II

Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonic)

Lukasik, A. 1991. Memahami Perayaan Ekaristi: Penjelasan Tentang Unsur-Unsur Perayaan Ekaristi.                                 Yogyakarta: Kanisius

Tarigan, Jacobus. 2011. Memahami Ekaristi. Jakarta: Cahaya Pineleng
   2011. Ritus Kehidupan. Jakarta: Cahaya Pineleng
   2012. Mempertimbangkan Salah Kaprah dalam Liturgi. Jakarta: Cahaya Pineleng
   2019. Spiritualitas Liturgi. Jakarta: Cahaya Pineleng

Prasetyantha, Y. B.  (ed), 2008. Ekaristi dalam Hidup Kita. Yogyakarta: Kanisius

Keating, Thomas. 2006. Intim Bersama Allah. Yogyakarta: Kanisius

Para Responden:

 Erna Sengkang (Paroki Marya Asumpta-Kupang)
 Josephine Jeanette (Paroki St. Matias Rasul, Kosambi)
Josephine Nadine (Paroki Kristus Salvator 
 Adinda  Ladjadjawa (Paroki Santa Perawan Maria Ratu, Blok 
 Theresya enjeli (Paroki St. yoseph 
  Melanya (Paroki St. Aloysius Cijantung)
Lia Ngapan (Gereja Katolik Tritunggal Maha Kudus, 
 T. Halima (Paroki St. yoseph Matraman)
 Tasya Hermanpelangkahu (Paroki Santa Perawan Maria Ratu, Jakarta Selatan)







                                                                                             


[1] Jacobus Tarigan, Memahami Ekaristi (Jakarta: Cahaya Pineleng, 2011), 165.
[2] Y. B. Prasetyantha (ed), Ekaristi dalam Hidup Kita (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 21-22.
[3] Bdk. Dokumen Konsili Vatikan II, 21.
[4] Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonic), 268-269.
[5] Dokumen Konsili Vatikan II, 21.
[6] Bdk. Jacobus Tarigan, Ritus Kehidupan (Jakarta: Cahaya Pineleng, 2011), 55.
[7] Kitab Hukum Kanonik, 268.
[8] A. Lukasik, Memahami Perayaan Ekaristi: Penjelasan Tentang Unsur-Unsur Perayaan Ekaristi (Yogyakarta: Kanisius, 1991), 5.
[9] Jacobus Tarigan, Mempertimbangkan Salah Kaprah dalam Liturgi (Jakarta: Cahaya Pineleng, 2012), 120-121.
[11] Thomas Keating, Intim Bersama Allah (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 177.